Pendahuluan
Perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi saat ini berdampak pada derasnya arus
informasi yang mengalir, dengan banyaknya media yang mendukung siklus
terbentuknya pengetahuan baru yang kemudian bertransformasi menjadi informasi
baru akan menimbulkan dampak banjir informasi.
Membanjirnya
informasi yang ada memiliki dua dampak sekaligus yang mempunyai efek hampir
bersamaan yaitu dampak positif dan negatif bagi pencari informasi, dampak
positifnya adalah terbukanya berbagai macam informasi sehingga pencari
informasi memiliki kesempatan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada, namun di balik
itu juga terdapat dampak negatifnya karena terlalu banyaknya informasi yang
tersedia pencari informasi rawan terjembab dalam informasi yang tidak sesuai
dengan kebutuhan atau bahkan informasi yang salah, maka oleh karena itu pencari
informasi dituntut memiliki kemampuan untuk menemukan dan menilai informasi
yang ditemukannya tersebut apakah termasuk merupakan informasi yang berkualitas
dan relevan bagi kebutuhan informasinya.
Perihal di atas
merupakan peluang dan tantangan bagi perpustakaan untuk dapat memberikan obat
penawar bagi para pencari informasi, perpustakaan dituntut untuk dapat menjadi
mediator antara informasi dan manusia (pencari informasi) yang kemudian mempertemukan
informasi yang relevan dengan manusia yang tepat (membutuhkan).
Fungsi
Perpustakaan dan Pustakawan dalam Siklus Transfer Informasi
“Informasi” mempunyai berbagai macam konotasi yang berbeda dalam tiap
bidang, menurut Saracevic (1999) “informasi” mempunyai makna yang terdiri dari
tiga arti, yaitu mencakup arti sempit, arti luas, dan arti paling luas.
Informasi dalam arti sempit berhubungan dengan istilah sinyal atau pesan untuk
pengambilan keputusan. Informasi dalam arti luas berkaitan dengan proses
kognitif dan pemahaman, penjabarannya adalah interaksi antar dua struktur
kognitif (pikiran dan teks), proses tersebut memberikan pengaruh pada pikiran,
karena adanya pemahaman. Sedangkan informasi dalam arti yang paling luas
berkaitan dengan konteks, informasi tidak hanya sebuah pesan (arti sempit) dan
proses kognitif (arti luas) namun juga harus sesuai dengan konteks (situasi,
permasalahan, atau minat). Informasi dalam arti luas inilah yang harus
diperhatikan karena informasi yang dapat dimanfaatkan adalah
informasi yang sesuai konteks atau memiliki alasan untuk digunakan (relevan).
Terdapat dua cara memperoleh akses informasi, pertama informasi dapat
diperoleh langsung dari si pembuat informasi dengan cara mengakses informasi
yang telah direkamnya dalam sebuah media, kedua melalui perantara pusat
informasi (perpustakaan) .Perpustakaan dalam siklus transfer informasi dapat
digambarkan pada diagram berikut ini:
Fungsi
utama perpustakaan pada
gambar di atas adalah sebagai mediator
antara sekumpulan populasi pengguna perpustakaan dengan timbunan informasi yang
tersedia. Perpustkaan harus mampu mendefinisikan penggunanya dengan baik
mengenai latar belakang dan kebutuhan informasinya, sehingga perpustakaan mampu
menyediakan informasi yang berkualitas serta sesuai dengan kebutuhan
penggunanya, seperti halnya definisi informasi yang dipaparkan di atas.
Perpustakaan
hanyalah sebuah instansi, tetap saja yang menjalankan fungsi dan peran
perpustakaan adalah para agen perpustakaan yaitu pustakawan. Pustakawan
dituntut untuk memiliki kompetensi untuk dapat menilai kualitas dari sebuah
informasi yang ada sampai nanti akhirnya dapat disajikan dengan baik dan tepat
sasaran sesuai dengan pengguna yang membutuhkan. Pengguna perpustakaaan pun
mempunyai andil dalam proses pemilihan informasi ini, partisipasi pengguna
sangat dibutuhkan untuk mempermudah pustakawan memetakan kebutuhan informasi
pengguna perpustakaannya.
Fungsi
perpustakaan sebagai mediator bukanlah fungsi yang pasif yang hanya menjadi
fasilitator tempat bertemunya pengguna dan informasi, namun lebih dari itu,
fungsi perpustakaan sebagai mediator adalah fungsi yang aktif yang mengusahakan
memberikan informasi yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan penggunanya,
untuk membantu perpustakaan mengoptimalisasi fungsi tersebut maka dibutuhkan
sebuah sistem komperhensif agar dapat menemu kembalikan informasi dengan baik
dan relevan sesuai dengan harapan pencari informasi tersebut.
Sistem Temu Kembali Informasi
Sistem Temu
Kembali Informasi merupakan sistem yang berfungsi untuk menemukan informasi
yang relevan dengan kebutuhan pemakai. Perihal yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa informasi yang diproses terkandung dalam sebuah dokumen yang bersifat
tekstual, dalam konteks ini temu kembali informasi berkaitan dengan
representasi, penyimpanan, dan akses terhadap dokumen.
Sistem Temu
Kembali Informasi didesain untuk menemukan dokumen atau informasi yang
diperlukan oleh masyarakat pengguna. Sistem Temu Kembali Informasi bertujuan
untuk menjembatani kebutuhan informasi pengguna dengan sumber informasi yang
tersedia. Berkaitan
dengan sumber informasi dan kebutuhan informasi pengguna, Sistem Temu Kembali
Informasi berperan untuk menganalisis isi sumber informasi dan pertanyaan
pengguna serta mempertemukan pertanyaan pengguna dengan sumber informasi untuk
mendapatkan dokumen yang relevan.
Adapun fungsi
utama sistem temu kembali informasi seperti dikemukakan oleh Lancaster (1979)
dan Kent (1971) adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi
sumber informasi yang relevan dengan minat masyarakat pengguna yang
ditargetkan.
2. Menganalisis
isi sumber informasi (dokumen)
3. Merepresentasikan
isi sumber informasi dengan cara tertentu yang memungkinkan untuk dipertemukan
dengan pertanyaan (query) pengguna.
4. Merepresentasikan
pertanyaan (query) pengguna dengan cara tertentu yang memungkinkan untuk
dipertemukan sumber informasi yang terdapat dalam basis data.
5. Mempertemukan
pernyataan pencarian dengan data yang tersimpan dalam basis data.
6. Menemu-kembalikan
informasi yang relevan.
7. Menyempurnakan
unjuk kerja sistem berdasarkan umpan balik yang diberikan oleh pengguna.
IFLA
juga memberikan fungsi katalog (sistem temu kembali informasi) yang
dirumuskannya dalam Statement of
International Cataloguing Principles, yaitu sebagai berikut:
1.
To find,
yaitu membantu menemukan sumber informasi pada sebuah tatanan koleksi dari
hasil pencarian menggunakan atribut atau hubungan yang tertera pada sumber
informasi.
2.
To identify,
yaitu membantu mengidentifikasi sumber informasi dengan mengenali dan
mengkonfirmasi terhadap sumber informasi yang dicari di antara dua atau lebih
suber informasi yang memiliki karakter yang sama.
3.
To select,
yaitu membantu memilih sumber informasi yang sesuai dengan kebutuhan informasi
atau menolak (reject) sumber
informasi yang tidak sesuai dengan kebutuhannya.
4.
To obtain, yaitu
untuk mendapatkan akses dari sebuah item
(eksemplar sumber informasi) yang didiskripsikan pada catalog; apakah pinjam,
beli, atau akses melalui internet.
5.
To navigate,
yaitu memandu pengguna melalui katalog; bagi pengguna yang belum dapat
menentukan dengan jelas kebutuhan informasinya, melalui penyusunan data
bibliografi dan kepengarangan yang lengkap serta hubungan antar sumber
informasi yang berkaitan pada catalog akan memandu pengguna untuk dapat
menentukan dan menemukan informasi yang dibutuhkan.
Fungsi-fungsi
dari sistem temu kembali informasi yang dipaparkan di atas mempunyai muara
tujuan yang sama yaitu membantu pengguna dalam mencari sumber informasi secara
cepat, tepat, dan akurat.
Sistem
temu kembali informasi merupakan sebuah sistem yang memiliki beberapa komponen
penyusunnya atau pembentuknya, menurut Lancaster (1979)
Sistem Temu Kembali Informasi terdiri dari 6 (enam) subsistem, yaitu:
1. Subsistem
dokumen
2. Subsistem
pengindeksan
3. Subsistem
kosa kata
4. Subsistem
pencarian
5. Subsistem
antarmuka pengguna-sistem
6. Subsistem
penyesuaian.
Dokumen sebagai objek data
dalam Sistem Temu Kembali Informasi merupakan sumber informasi. Dokumen
biasanya dinyatakan dalam bentuk indeks atau kata kunci. Kata kunci dapat
diekstrak secara langsung dari teks dokumen atau ditentukan secara khusus oleh
spesialis subjek dalam proses pengindeksan yang pada dasarnya terdiri dari
proses analisis dan representasi dokumen. Pengindeksan dilakukan dengan
menggunakan sistem pengindeksan tertentu, yaitu himpunan kosa kata yang dapat
dijadikan sebagai bahasa indeks sehingga diperoleh informasi yang
terorganisasi. Sementara itu, pencarian diawali dengan adanya kebutuhan
informasi pengguna. Dalam hal ini Sistem Temu Kembali Informasi berfungsi untuk
menganalisis pertanyaan (query)
pengguna yang merupakan representasi dari kebutuhan informasi untuk mendapatkan
pernyataan-pernyataan pencarian yang tepat. Selanjutnya pernyataan-pernyataan
pencarian tersebut dipertemukan dengan informasi yang telah terorganisasi
dengan suatu fungsi penyesuaian (matching
function) tertentu sehingga ditemukan dokumen atau sekumpulan dokumen. Proses tersebut dapat
diilustrasikan seperti gambar berikut:
Peran Bersama Antara Pustakawan dan Pemustaka
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 2007 perpustakaan merupakan institusi pengelola koleksi karya tulis,
karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku
guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan
rekreasi para pemustaka, yang diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran
sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan,
keterukuran, dan kemitraan.
Perpustakaan mempunyai tanggung jawab moral untuk
menyebar luaskan informasi kepada para penggunanya dengan menyediakan berbagai
macam jasa layanan. Namun perpustakaan sebagai lembaga non-profit yang
menyediakan jasa informasi cenderung tidak mempertimbangkan harapan dan
kebutuhan penggunanya dalam memberikan layanan. Berbeda dengan lembaga profit,
yang menjadikan kebutuhan dan harapan pelanggan sebagai prioritas utama dalam
pelayanan.
Tidak adanya pertimbangan dalam pengadaan koleksi
bahan pustaka pada perpustakaan mengakibatkan kesenjangan persepsi antara
pustakawan (staf perpustakaan) dengan pemustaka (pengguna jasa perpustakaan).
Bahan putaka yang diakuisisi atas dasar kepentingan subjek (pustakawan) tanpa
memperhatikan objek yang akan dilayani (pemustaka), maka bahan pustaka tersebut
cenderung tidak dimanfaatkan sehingga akhirnya dilupakan begitu saja tanpa
adanya evaluasi.
Fenomena tersebut diatas jelas sudah menyimpang dari
UU RI Nomor 43 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan perpustakaan
berdasarkan pada asas demokrasi. Pemustaka yang sudah jelas sekali sebagai
penerima tunggal dari layanan perpustakaan, namun kebutuhan dan harapannya
tidak dijadikan pijakan dalam membangun layanan yang ada.
Idealnya sebuah perpustakaan yang mempunyai misi untuk
menyediakan kebutuhan informasi kepada para pemustakanya, dalam mengakuisisi
bahan pustaka selalu melibatkan pemustaka dalam pemilihan prioritas bahan
pustaka yang akan dilayankan. Bahan pustaka yang bermutu adalah bahan
pustaka yang
dibangun berdasarkan masukan, evaluasi dan keterlibatan banyak orang: pengguna , staff perpustakaan, dan
pimpinan perpustakaan, sehingga terciptalah sumber informasi yang presisi dan
sesuaidengan ekspektasi kebutuhan informasi pemustaka, seperti inilah wajah layanan perpustakaan yang bermutu.
Ramuan penting guna meraih
kesuksesan dalam layanan perpustakaan yang bermutu adalah komuikasi dan kolaborasi antar pustakawan dan pemustaka
dalam mengembangkan layanan perpustakaan. Berikut ini akan dijabarkan lebih
terperinci mengenai ramuan penting dari sebuah layanan perpustakaan yang
bermutu (Casey:2007):
1.
Partisipasi pengguna atau
pemustaka: partisipasi pemustaka akan memperkaya program dan layanan yang
ditawarkan perpustakaan. Patisipasi pemustaka di sini berarti keterlibatan
pemustaka dalam membuat dan mengevaluasi program dan layanan perpustakaan. Hal
ini bukan berarti pemustaka mengambil alih fungsi pustakawan dalam semua
penciptaan dan evaluasi dalam perpustakaan, namun setidakanya pemustaka juga
memberikan pengaruh yang cukup besar dalam keputusan dan kebijakan perpustakan.
2.
Perubahan yang konstan dan
bertujuan: manfaat dari perubahan yang konstan dan bertujuan ini akan terlihat
ketika dibandingkan dengan metode “perencanaan, Implementasi, dan dilupakan”:
maksudnya adalah banyak perpustakaan yang memutuskan untuk melakukan layanan
jenis baru, mereka merencanakannya, melaksanakannya, kemuadian tiba-tiba hilang
dan lupa begitu saja tanpa adanya evaluasi dan pengembangan lebih lanjut.
3.
Merangkul pemustaka yang sudah
ada dan meraih pemustaka yang potensial: maksud dari pemustaka yang potensial
adalah masyarakat yang belum memanfaatkan jasa layanan perpustakaan, namun
mereka memiliki potensi untuk memanfaatkan layanan perpustakaan. Merangkul
pemustaka yang sudah ada dapat dilakukan dengan merealisasikan layanan yang
dibangun atas dasar komunikasi dan kolaborasi antar pustakawan dan pemustaka
serta selalu megevaluasi secara berkala layanan tersebut. Meraih pemustaka yang
potensial dilakukan secara proaktif dengan memanfaatkan teknologi internet dan website, dengan membangun website perpustakaan maka masyarakat
luas dapat dengan mudah mengenal perpustakaan, dapat juga ditunjang dengan
membangun grup di jejaring social facebook
misalnya, yang akan mengundang fenomena “getok tular” sehingga perpustakaan
akan lebih dikenal oleh masyarakat luas, sehingga termotifasi untuk
memanfaatkannya.
Kebutuhan dan harapan pengguna perpustakaan akan
senantiasa berubah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, perpustakaan harus
berusaha lebih keras lagi untuk mengendalikan perubahan yang terjadi. Sekarang
perpustakaan telah berada pada titik di mana jika pepustakaan tidak membuat
perubahan yang signifikan dengan membuat dan merawat layanan yang bermutu, maka
perpustakaan akan kehilangan relevansinya terhadap kebutuhan dan harapan
pengguna perpustakaan, dengan kata lain perpustakaan itu sudah tidak ada
gunanya lagi. Untuk mengoptimalisasikan fungsi dan
peran sistem temu kembali informasi dalam rangka mencapai tujuan utamanya untuk
mempertemukan penggunanya dengan informasi yang berkuallitas dan relevan maka
di sinilah letak peran bersama antara pustakawan dan pemustakanya. Pustakawan
dituntut mempunyai kemampuan untuk memetakan kebutuhan informasi penggunanya,
dengan metode kuesioner atau wawancara yang melibatkan pengguna perpustakaan,
maka akan dapat ditemukan rumusan informasi yang berkualitas serta sesuai
dengan kebutuhan pengguna perpustakaan.
Enam
komponen dalan sistem temu kembali informasi yang telah disebutkan di atas
kemudian ditambah dan diperkuat dengan adanya proses penyesuaian kebutuhan
informasi pengguna terhadap koleksi yang ada, secara otomatis akan
mengoptimalkan fungsi dan tujuan sistem temu kembali informasi.
Peran Perpustakaan Universitas Indonesia dalam Optimalisasi
Siklus Transfer Informasi
Perpustakaan merupakan
jantungnya perguruan tinggi.
Perpustakaan perguruan tinggi memiliki peran krusial bagi civitas
akademika perguruan tinggi, yaitu sebagai pusat belajar dan pembelajaran, pusat
penelitian, pusat sumber informasi, pusat penyebaran informasi dan pengetahuan,
serta pusat pelestarian ilmu pengetahuan. Perpustakaan
Universitas Indonesia merupakan pusat sumber informasi utama bagi civitas akademika Universitas Indonesia. Sebagai pusat sumber informasi utama, Perpustakaan
Universitas Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan informasi civitas
akademika Universitas Indonesia.
Perpustakaan
Universitas Indonesia dibangun dengan basis konsep learning common yaitu dengan menjadikan perpustakaan sebagai tempat
meeting point untuk belajar,
penelitian, diskusi, dan aktifitas lainnya. Konsep ini diterapkan dengan
menyediakan banyak ruang untuk berdiskusi dan berinteraksi seperti meja, kursi,
serta sofa yang diperuntukan bagi pemustaka yang kelelahan karena belajar dapat
sejenak tidur di atas sofa tersebut. Food
corner dan kedai kopi juga
disediakan di dalam gedung perpustakaan, hal ini diperuntukan agar ketika pemustaka
butuh makanan atau minuman mereka tidak harus keluar dan meninggalkan perpustakaan,
karena setelah mereka selesai makan dan minum mereka dapat langsung kembali
melakukan aktifitasnya di perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan informasinya.
Bentuk gedung dan ruangan yang cukup artistik juga merupakan usaha untuk
menciptakan daya magnet bagi para pemustakanya untuk senantiasa berkunjung ke
perpustakan ketika hendak memenuhi kebutuhan informasi.
Esensi
dari sebuah perpustakan adalah sumber informasi yang dimiliki yang diperuntukan
bagi pemustakanya. Perpustakan Indonesia memiliki sistem manajemen informasi
berbasis web yang dikenal dengan nama lontar. Tampilan sistem manajemen
informasi ini cukup user friendly
karena selain menggunakan bahasa indonesia, menu-menu utamanya juga terpampang
dengan jelas di bagian atas dan samping pada tampilan awal sehingga pengguna
akan sangat mudah mengenali fasilitas apa yang disediakan oleh sistem manajemen
informasi tersebut. Sistem temu kembali yang diterapkan pada lontar menggunaka
logika boelan yang memungkinkan untuk mengkombinasi kata kunci pencarian
berdasarkan judul, pengarang, tahun, subjek, dan abstrak, serta disertai
panduan tertulis pencarian menggunakan sistem tersebut, hal ini sangat
memudahkan bagi pemustaka ketika melakukan temu kembali sumber informasi. Menu
“usulan pengadaan” pada sistem lontar bertujuan untuk menyediakan ruang bagi
pemustaka untuk mengungkapkan keutuhan informasi mereka, hal ini merupakan
upaya perpustakaan untuk mengembangkan koleksi sumber informasi yang sesuai
dengan kebutuhan melalui kolaborasi antara pemustaka dan pustakawan.
Layanan
Referensi Perpustakaan Universitas Indonesia merupakan layanan yang diberikan
kepada pemustaka berupa kegiatan konsultasi informasi di mana staf pustakawan
merekomendasikan, mengiterpretasikan, mengevaluasi, serta menggunakan sumber
daya informasi yang tersedia untuk membantu pemustaka
memenuhi kebutuhan informasinya. Dalam kegiatan layanan
referensi terjadi interaksi antara pustakawan dan pemustaka. Pemustaka
menceritakan dengan detail kebutuhan informasinya, sehingga pustakawan dapat
memahami dengan baik kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka
tersebut. Pustakawan juga dapat melakukan konfirmasi kepada pemustaka mengenai
informasi yang telah berhasil ia temuan, apakah informasi tersebut sesuai
dengan kebutuhan informasi pemustaka. Layanan Referensi Perpustakaan
Universitas Indonesia juga membekali pemustakanya dengan literasi informasi agar
pemustaka memiliki kemampuan untuk mencari informasi baik di luar maupun di
dalam perpustakaan secara mandiri.
Perihal
tersebut di atas memberikan gambaran yang jelas perbedaan antara mesin pencari
seperti “google” dengan perpustakaan. Google mampu memberikan seribu jawaban
kepada penggunanya, namun pustakawan mampu memberikan jawaban yang sesuai bagi
pemustakanya. Tidaklah cukup hanya mesin yang bekerja, adanya sisi humanisme
dalam proses interaksi konsultasi kebutuhan informasi anatar pemustaka dengan
pustakawan, memungkinkan bagi pustakawan untuk memberikan solusi yang paling
tepat dan sesuai dengan kebutuhan informasi yang dimiliki oleh pemustaka.
Kesimpulan
Dalam Perpustakaan sistem temu kembali informasi merupakan sebuah media
atau alat bantu untuk mempertemukan penggunanya dengan informasi yang relevan
dengan kebutuhannya. Tanpa adanya campur tangan manusia untuk mengatur
informasi yang terdaftar pada sistem, maka akan terlalu banyak informasi yang
tidak sesuai atau bahkan tidak akan pernah ada tertampil pada sistem temu
kembali informasi.
Pernyataan
di atas mempertegas keharusan adanya fungsi humanisme seorang pustakawan untuk
berinteraksi langsung dengan penggunanya dalam menilai dan menentukan bahan
informasi yang dikoleksi yaitu informasi yang relevan dengan kebutuhan
penggunanya.
Daftar Pustaka
Casey, Michael E., & Savastinuk, Laura C. (2007). Library 2.0: a Guide to Participatory
Library Service. New Jersey: Information Today.
Chowdhury, G.C. (2004). Introduction to Modern Information Retrieval, 2
nd Edition. Facet Publishing: London
IFLA. (2009). Statement of
International Cataloguing Principles. http://www.ifla. org/files / cataloguing/icp/icp_2009-en.pdf
Kent,
A. (1971) Information Analysis and
Retrieval, 3 rd Edition. Becker and Heys:
New York
Lancaster,
F.W. (1979). Information Retrieval Systems:
Characteristics, Testing, and Evaluation, 2 nd Edition, John Wiley: New York
Saracevic, Tefko. (1999). “Information Science” dalam Journal of the American Society for
Information Science, vol 50 no. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar