Disusun oleh
Luh Putu Sri Aryani
M. Rosyihan Hendrawan
Prafita Imadianti
Prisinta Wanastri
Yanuar Yoga Prasetyawan
Yona Primadesi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Pendahuluan
Istilah post-modernisme lahir pada paruh kedua abad ke-20,
berkisar antara tahun 1960 hingga tahun
1990. Lahirnya post-modernisme ditandai dengan lahir dan berkembangnya era
informasi dalam masyarakat yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam
fenomena sosial-budaya masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Akhyar, bahwa
salah satu ciri sosial-budaya masyarakat post-modernisme ditandai dengan
lahirnya era mode informasi. Era mode informasi ini memberikan kesempatan pada masyarakat
untuk mengorganisir dan menyebarkan informasi seluas-luasnya (Akhyar, 2011).
Dinamika perkembangan informasi ini menyebabkan perubahan dalam masyarakat,
seperti perubahan estetis, kultural, dan ekonomi. Proses perubahan ini kemudian
melahirkan istilah masyarakat informasi atau information society. Konsep masyarakat informasi itu sendiri muncul
pada awal tahun 1970.
Daniel Bell menggunakan istilah post-industrial society untuk menyebut masyarakat informasi, yaitu
pergantian produksi barang-barang kepada sistem pengetahuan dan inovasi
pelayanan sebagai strategi dan sumber informasi masyarakat (Bell, 1973).
Menurut William J. Martin, masyarakat informasi merupakan suatu kedaan
masyarakat dimana kualitas hidup, prospek untuk perubahan sosial dan pembangunan
ekonomi bergantung pada peningkatan informasi dan pemanfaatannya (Martin,
1995).
Masyarakat yang mendapat kesempatan dan akses informasi
secara cepat dan tepat akan jauh lebih maju dibandingkan dengan mereka yang
kurang mendapat “nasib” baik dalam hal pemerolehan informasi. Menurut Pendit,
misi utama masyarakat informasi adalah mewujudkan masyarakat yang sadar tentang
pentingnya informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, terciptanya suatu layanan
informasi yang terpadu, terkoordinasi dan terdokumentasi serta tersebarnya
informasi ke masyarakat secara luas dan cepat, tepat dan bermanfaat (Pendit,
2005).
John Goddard mengidentifikasi empat unsur yang saling
berkaitan dalam proses perubahan menuju masyarakat informasi. Pertama, informasi mulai menduduki panggung
utama sebagai sumber daya strategis, dimana adanya ketergantungan terhadap
informasi. Kedua, teknologi informasi
dan komunikasi menyediakan infrastruktur yang memungkinkan informasi diproses
dan didstribusikan. Ketiga,
terjadinya pertumbuhan yang sangat cepat pada sektor informasi yang bisa
diperdagangkan dalam ekonomi. Keempat
perubahan dalam aspek budaya yang mudah dikenali tetapi sulit untuk diukur
(John Goddard, 1992).
Masyarakat informasi ditandai dengan adanya perilaku
informasi yang merupakan keseluruhan perilaku manusia yang berhubungan dengan
sumber dan saluran informasi, perilaku penemuan informasi yang merupakan upaya
dalam menemukan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat adanya
kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu, perilaku mencari informasi yang
ditujukan seseorang ketika berinteraksi dengan sistem informasi, dan perilaku
penggunaan informasi yaitu perilaku yang dilakukan seseorang ketika
menggabungkan informasi yang ditemukannya dengan pengetahuan dasar yang sudah
dimiliki sebelumnya.
Informasi merupakan
komoditi utama dalam masyarakat informasi. Informasi itu sendiri menurut
Harrod’s librarians glossary (dalam Sulistyo-Basuki, 2006) adalah kumpulan data
dalam bentuk yang dapat dipahami, terekam pada kertas atau media lainnya dn
memilki peranan dalam kegiatan komunikasi (Sulistyo-Basuki, 2006). Informasi
merupakan kata benda berupa pengetahuan yang diberikan kepada seseorang dalam
bentuk yang dapat dipahami oleh orang lain.
Keberadaan informasi ini tidak bisa dilepaskan dari
media penyedia dan penyampai informasi, diantaranya adalah perpustakan.
Informasi dan perpustakaan adalah dua hal yang tidak bisa berdiri sendiri
karena tujuan hadirnya perpustakaan adalah untuk menyediakan, menyimpan,
mengolah dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi melalui
koleksi-koleksi yang dimilikinya.
Perpustakaan
dapat diartikan sebagai sebuah ruangan atau gedung yang digunakan untuk
menyimpan buku dan terbitan lainnya, yang dikelola menurut tata susunan
tertentu yang digunakan pembaca (Sulistyo-Basuki, 1991). Dalam Undang-undang
Republik Indonesia No. 43 tahun 2007, dijelaskan bahwa perpustakaan adalah lembaga
pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara profesional
dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian,
pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Dapat dikatakan bahwa
kehadiran perpustakaan ditengah-tengah masyarakat adalah untuk mengorganisir
dan mengelola informasi sehingga pada saat masyarakat membutuhkan suatu informasi,
informasi tersebut akan lebih mudah ditemukan.
Perpustakaan sebagai
media penyedia informasi harus mampu menyediakan informasi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat penggunanya. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat
bersifat heterogen baik dari segi jenis, bentuk dan konteksnya, sehingga
perpustakaan pun harus menyesuaikan keberadaannya dengan kebutuhan
tersebut. Ada beberapa jenis
perpustakaan, seperti perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan khusus,
perpustakaan sekolah, dan perpustakaan perguruan tinggi. Jenis-jenis
perpustakaan tersebut dikelompokkan berdasarkan informasi yang disediakan oleh
perpustakaan serta masyarakat pengguna perpustakaan.
Dalam kesempatan kali ini, pembicaraan akan lebih
difokuskan pada perpustakaan umum karena perpustakaan umum merupakan salah satu
bentuk perpustakaan yang bisa diakses oleh semua masyarakat dari berbagai
lapisan dan menyediakan koleksi yang beragam, terutama dalam hal subjek, serta
terdapat hampir diseluruh wilayah di dunia secara merata. Perpustakaan umum
bisa diartikan sebagai perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas
sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis
kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial-ekonomi. Idealnya, sebuah
perpustakaan umum harus menyediakan informasi, dalam bentuk koleksi
perpustakaan, yang bersifat heterogen dan merata kepada pemustaka. Hal ini
dikarenakan pemustaka dari perpustakaan umum berasal dari berbagai lapisan
masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda, sehingga kebutuhan akan
informasi pun berbeda-beda. Kebijakan dalam proses pengadaan koleksi di
perpustakaan umum harus disesuaikan dengan kebutuhan informarsi pemustaka.
Perpustakaan tidak boleh mengkhususkan informasi atau koleksi hanya pada subjek
ilmu tertentu saja, seperti koleksi di bidang teknologi, hukum atau ekonomi,
dan mengabaikan subjek-subjek ilmu lainnya, seperti filsafat, sejarah, atau
koleksi yang bersifat kedaerahan.
Akan tetapi fenomena
yang berkembang di masyarakat, justru sebaliknya. Hampir sebagian besar
perpustakaan umum, lebih mengutamakan penyediaan koleksi pada subjek-subjek
ilmu tertentu yang dianggap laris, seperti teknologi, ilmu ekonomi, ilmu hokum
dan kedeoteran, serta mengabaikan subjek-subjek ilmu yang dianggap kurang
diminati, seperti ilmu sejarah, filsafat, perpustakaan, atau kesenian. Hal ini
sangat bertentangan dengan tujuan perpusakaan sebagai lembaga peyedia informasi
seluas-luasnya bagi masyarakat. Oleh karena itu, penulisan ini akan membahas
lebih lanjut mengenai kebijakan penyedian informasi, dalam bentuk koleksi, yang
dilakukan oleh perpustakaan, serta praktik merkantilisasi informasi yang pada
umumnya terjadi di peprustakaan.