Pendahuluan
Komunikasi adalah hubungan
kontak antar manusia baik individu maupun kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari
disadari atau tidak komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia itu
sendiri.
Untuk menjalin rasa
kemanusiaan diperlukan saling pengertian antar setiap anggota masyarakat. Dalam
hal ini faktor komunikasi memainkan peran yang sangat vital, apalagi bagi
masyarkat modern. Manusia modern adalah manusia yang cara berfikirnya dalam
mlaksanakan kegiatan dan aktifitasnya tidak berdasarkan spekulasi, namun
berdasar pada rasional atau penalaran. Kegiatan dan aktifitas tersebut akan
terselenggara dengan baik melalui proses komunikasi antar manusia.
Dalam proses komunikasi
terjadi tukar menukar pendapat, penyempaian pesan informasi, serta perubahan
sikap dan perilaku. Pada hakekatnya dalam proses komunikasi terdapat
unsur-unsur tersebut tersebut yaitu sumber pesan, saluran, dan penerimaan,
disamping itu terdapat pula unsur yang utama yaitu unsur pengaruh (effect) dan
umpan balik (feed back). Bagaimanapun juga setiap komunikasi yang dilakukan
senantiasa memberikan efek yang positif atau efektifitas komunikasi. Komunikasi
yang tidak menginginkan efektifitas adalah komunikasi yang tidak bertujuan.
Efek dalam komunikasi adalah perubahan yang terjadi pada penerima (komunikan),
sebagai akibat dari pesan yang diterima, jika perubahan itu sesuai dengan
harapan komunikator, maka komunikasi tersebut disebut efektif.
Perpustakaan adalah lembaga penyedia informasi bagi masyarakat
luas. Perpustakaan mengalami perubahan
hampir di setiap penjuru, baik aktifitasnya maupun tanggung jawabnya (visi atau
misi), yang tetap dan tidak mengalami perubahan adalah perubahan itu sendiri.
Perpustakaan atau pusat informasi tidak akan bisa mengelak dari perubahan yang
terjadi, dengan mengenali dan mengendalikan dampak dari perubahan merupakan
langkah yang paling tepat bagi keberlangsungan organisasi informasi ini.
Perubahan yang terjadi membutuhkan pertimbangan dan keputusan yang tepat
terhadap metode, teknik, dan alat-alat yang akan digunakan untuk memperbaiki
kegiatan pelayanan informasi yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Perubahan yang terjadi
dipengaruhi oleh banyak faktor yang terjadi dalam masyarakat baik faktor
sosial, budaya, maupun teknologi. Untuk mengatasi kesenjangan persepsi yang
terjadi antara perpustakaan dan masyarakat diperlukan komunikasi yang efektif
guna menghasilkan layanan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan dan harapan
masyarakat.
Jürgen Habermas
Jürgen Habermas lahir di Düsseldorf, Jerman, pada tahun 1929. Habermas masuk ke adegan
intelektual dimulai pada tahun 1950-an dengan kritik berpengaruh filsafat
Martin Heidegger. Ia belajar filsafat di Universitas di Göttingen dan
Bonn, yang diikuti dengan studi dalam filsafat dan sosiologi di Institut Penelitian
Sosial di bawah Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Pada 1960-an dan 70-an
ia mengajar di Universitas Heidelberg dan Frankfurt am Main. Dia kemudian
menerima jabatan direktur di Institut Max Planck di Starnberg pada tahun
1971. Pada tahun 1980 ia memenangkan Hadiah Adorno, dan dua tahun kemudian
ia mengambil jabatan profesor di Universitas Frankfurt, yang tersisa di sana
sampai pensiun pada tahun 1994.
Pemikiran-pemikiran habermas bertolak dari ide-ide
yang sederhana, khususnya tentang moderenitas dan berbagai kontradiksi dengan
prinsip dan cita-cita modernitas itu sendiri. Berikut ini akan dibahas salah
satu pemikiran habermas mengenai dialog atau komunikasi.
Teori Aksi
Komunikatif
Habermas melakuakan perubahan paradigma dari “filsafat
subyek” ke “filsafat komunikasi”, dari “filsafat kesadaran” ke “filsafat
bahasa” dengan memfokuskan pada dialog yang setara. Habermas berpaling pada
bahasa untuk mencari dasar filosofis untuk teori kritis baru, melalui buku Theory Comunicative Action habermas
menyatakan bahwa dalam fenomena bahasa dan komunikasi antar manusia terkandung
norma-norma untik mengkritik segala bentuk dominasi dan penindasan serta untuk
memperjuangkan demokratisasi.
Teori tindakan komunikatif menempatkan bahasa sebagai
media interaksi sosial. Dalam teori tindakan komunikatif, klaim validitas
ucapan berkaitan dengan motif yang bersifat rasional. Habermas mengemukakan
bahwa ada tiga klaim validitas yang berkaitan dengan tindak bahasa: pertama
adalah klaim dinyatakan benar jika pernyataan eksistensinya memuaskan, kedua
tindakan ucapan benar berdasarkan konteks normatif yang berlaku, ketiga
kesungguhan dari pengguna bahasa dalam menyatakan sesuatu. Klaim ini
memungkinkan pengguna bahasa membuka subjektivitasnya.
Habermas menyatakan bahwa komunikasi atau interaksi
merupakan tindakan manusia yang paling dasar. Habermas melakuakan perubahan
paradigma secara radikal dari “filsafat subyek” ke “filsafat komunikasi”.
Dengan demikian norma umum tidak lagi ditentukan oleh subjek imperative
kategoris, akan tetapi ditentukan oleh kesepakatan komunitas yang berkomunikasi
atau “peraturan argumentasi”. Menurut habermas hanya norma-norma yang disetujui
oleh anggota masyarakat atau peserta sebuah diskursus praktislah yang dianggap
valid.
Teori tindakan komunikatif Habermas banyak diterapkan oleh politik dan hukum, yang menganjurkan sebuah
"demokrasi deliberatif" di mana lembaga-lembaga pemerintah dan hukum
akan terbuka untuk refleksi dan diskusi bebas oleh publik.
Dalam tulisan ini penulis mencoba menerapkan teori
aksi komunikatif pada perpustakaan yaitu dengan membangun demokratisasi dalam
perpustakaan sebagai upaya penciptaan layanan perpustakaan yang bermutu dan
relevan bagi pemustaka (pengguna perpustakaan).
Demokratisasi
dalam Perpustakaan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 2007 perpustakaan merupakan institusi pengelola koleksi karya tulis,
karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku
guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan
rekreasi para pemustaka, yang diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran
sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan,
keterukuran, dan kemitraan.
Perpustakaan mempunyai tanggung jawab moral untuk
menyebar luaskan informasi kepada para penggunanya dengan menyediakan berbagai
macam jasa layanan.
Perpustakaan sebagai lembaga non-profit yang
menyediakan jasa informasi cenderung tidak mempertimbangkan harapan dan
kebutuhan penggunanya dalam memberikan layanan. Berbeda dengan lembaga profit, yang
menjadikan kebutuhan dan harapan pelanggan sebagai prioritas utama dalam
pelayanan.
Tidak adanya pertimbangan dalam pengadaan layanan
perpustakaan mengakibatkan kesenjangan persepsi antara pustakawan (staf perpustakaan)
dengan pemustaka (pengguna jasa perpustakaan). Sistem layanan yang dibangun
atas dasar kepentingan subjek (pustakawan) tanpa memperhatikan objek yang akan
diberikan layanan (pemustaka), maka layanan tersebut cenderung tidak efektif
dan efisien sehingga akhirnya dilupakan begitu saja tanpa adanya evaluasi atau
bahkan benar-benar hilang.
Fenomena tersebut diatas jelas sudah menyimpang dari
UU RI Nomor 43 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan perpustakaan
berdasarkan pada asas demokrasi. Pemustaka yang sudah jelas sekali sebagai
penerima tunggal dari layanan perpustakaan, namun kebutuhan dan harapannya
tidak dijadikan pijakan dalam membangun layanan yang ada.
Idealnya sebuah perpustakaan yang mempunyai misi untuk
menyediakan layanan informasi kepada para pemustakanya, dalam membangun
layanannya selalu melibatkan pemustaka dalam pemilihan prioritas layanan yang
akan dilayankan. Layanan perpustakaan yang bermutu adalah layanan-layanan perpustakaan yang
dibangun berdasarkan masukan, evaluasi dan keterlibatan banyak orang: pengguna , staff perpustakaan, dan
pimpinan perpustakaan, sehingga terciptalah demokrasi di dalam
perpustakaan.
Ramuan penting guna meraih kesuksesan dalam layanan perpustakaan yang
bermutu adalah komuikasi dan
kolaborasi antar pustakawan dan pemustaka dalam mengembangkan layanan
perpustakaan. Berikut ini akan dijabarkan lebih terperinci mengenai ramuan
penting dari sebuah layanan perpustakaan yang bermutu:
1.
Partisipasi pengguna atau pemustaka: partisipasi pemustaka akan
memperkaya program dan layanan yang ditawarkan perpustakaan. Patisipasi
pemustaka di sini berarti keterlibatan pemustaka dalam membuat dan mengevaluasi
program dan layanan perpustakaan. Hal ini bukan berarti pemustaka mengambil
alih fungsi pustakawan dalam semua penciptaan dan evaluasi dalam perpustakaan,
namun setidakanya pemustaka juga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam
keputusan dan kebijakan perpustakan.
2.
Perubahan yang konstan dan bertujuan: manfaat dari perubahan yang konstan
dan bertujuan ini akan terlihat ketika dibandingkan dengan metode “perencanaan,
Implementasi, dan dilupakan”: maksudnya adalah banyak perpustakaan yang
memutuskan untuk melakukan layanan jenis baru, mereka merencanakannya,
melaksanakannya, kemuadian tiba-tiba hilang dan lupa begitu saja tanpa adanya
evaluasi dan pengembangan lebih lanjut.
3.
Merangkul pemustaka yang sudah ada dan meraih pemustaka yang potensial:
maksud dari pemustaka yang potensial adalah masyarakat yang belum memanfaatkan
jasa layanan perpustakaan, namun mereka memiliki potensi untuk memanfaatkan
layanan perpustakaan. Merangkul pemustaka yang sudah ada dapat dilakukan dengan
merealisasikan layanan yang dibangun atas dasar komunikasi dan kolaborasi antar
pustakawan dan pemustaka serta selalu megevaluasi secara berkala layanan
tersebut. Meraih pemustaka yang potensial dilakukan secara proaktif dengan
memanfaatkan teknologi internet dan website,
dengan membangun website perpustakaan
maka masyarakat luas dapat dengan mudah mengenal perpustakaan, dapat juga
ditunjang dengan membangun grup di jejaring social facebook misalnya, yang akan mengundang fenomena “getok tular”
sehingga perpustakaan akan lebih dikenal oleh masyarakat luas, ehingga
termotifasi untuk memanfaatkannya.
Kebutuhan dan harapan pengguna perpustakaan akan
senantiasa berubah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, perpustakaan harus
berusaha lebih keras lagi untuk mengendalikan perubahan yang terjadi. Sekarang
perpustakaan telah berada pada titik di mana jika pepustakaan tidak membuat
perubahan yang signifikan dengan membuat dan merawat layanan yang bermutu, maka
perpustakaan akan kehilangan relevansinya terhadap kebutuhan dan harapan
pengguna perpustakaan, dengan kata lain perpustakaan itu sudah tidak ada gunanya
lagi.
Referensi
Casey, Michael E., &
Savastinuk, Laura C. (2007). Library 2.0:
a Guide to Participatory Library Service. New Jersey: Information Today.
Jürgen Habermas-Biography. 3 November 2011. http://www.egs.edu/library/juergen-habermas/biography/.
Lubis, Ahyar
Yusuf. (2011). Teori Kritis dan
Posmoderisme: Pengaruhnya pada
Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer. Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar