Disusun oleh
Luh Putu Sri Aryani
M. Rosyihan Hendrawan
Prafita Imadianti
Prisinta Wanastri
Yanuar Yoga Prasetyawan
Yona Primadesi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Pendahuluan
Istilah post-modernisme lahir pada paruh kedua abad ke-20,
berkisar antara tahun 1960 hingga tahun
1990. Lahirnya post-modernisme ditandai dengan lahir dan berkembangnya era
informasi dalam masyarakat yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam
fenomena sosial-budaya masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Akhyar, bahwa
salah satu ciri sosial-budaya masyarakat post-modernisme ditandai dengan
lahirnya era mode informasi. Era mode informasi ini memberikan kesempatan pada masyarakat
untuk mengorganisir dan menyebarkan informasi seluas-luasnya (Akhyar, 2011).
Dinamika perkembangan informasi ini menyebabkan perubahan dalam masyarakat,
seperti perubahan estetis, kultural, dan ekonomi. Proses perubahan ini kemudian
melahirkan istilah masyarakat informasi atau information society. Konsep masyarakat informasi itu sendiri muncul
pada awal tahun 1970.
Daniel Bell menggunakan istilah post-industrial society untuk menyebut masyarakat informasi, yaitu
pergantian produksi barang-barang kepada sistem pengetahuan dan inovasi
pelayanan sebagai strategi dan sumber informasi masyarakat (Bell, 1973).
Menurut William J. Martin, masyarakat informasi merupakan suatu kedaan
masyarakat dimana kualitas hidup, prospek untuk perubahan sosial dan pembangunan
ekonomi bergantung pada peningkatan informasi dan pemanfaatannya (Martin,
1995).
Masyarakat yang mendapat kesempatan dan akses informasi
secara cepat dan tepat akan jauh lebih maju dibandingkan dengan mereka yang
kurang mendapat “nasib” baik dalam hal pemerolehan informasi. Menurut Pendit,
misi utama masyarakat informasi adalah mewujudkan masyarakat yang sadar tentang
pentingnya informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, terciptanya suatu layanan
informasi yang terpadu, terkoordinasi dan terdokumentasi serta tersebarnya
informasi ke masyarakat secara luas dan cepat, tepat dan bermanfaat (Pendit,
2005).
John Goddard mengidentifikasi empat unsur yang saling
berkaitan dalam proses perubahan menuju masyarakat informasi. Pertama, informasi mulai menduduki panggung
utama sebagai sumber daya strategis, dimana adanya ketergantungan terhadap
informasi. Kedua, teknologi informasi
dan komunikasi menyediakan infrastruktur yang memungkinkan informasi diproses
dan didstribusikan. Ketiga,
terjadinya pertumbuhan yang sangat cepat pada sektor informasi yang bisa
diperdagangkan dalam ekonomi. Keempat
perubahan dalam aspek budaya yang mudah dikenali tetapi sulit untuk diukur
(John Goddard, 1992).
Masyarakat informasi ditandai dengan adanya perilaku
informasi yang merupakan keseluruhan perilaku manusia yang berhubungan dengan
sumber dan saluran informasi, perilaku penemuan informasi yang merupakan upaya
dalam menemukan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat adanya
kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu, perilaku mencari informasi yang
ditujukan seseorang ketika berinteraksi dengan sistem informasi, dan perilaku
penggunaan informasi yaitu perilaku yang dilakukan seseorang ketika
menggabungkan informasi yang ditemukannya dengan pengetahuan dasar yang sudah
dimiliki sebelumnya.
Informasi merupakan
komoditi utama dalam masyarakat informasi. Informasi itu sendiri menurut
Harrod’s librarians glossary (dalam Sulistyo-Basuki, 2006) adalah kumpulan data
dalam bentuk yang dapat dipahami, terekam pada kertas atau media lainnya dn
memilki peranan dalam kegiatan komunikasi (Sulistyo-Basuki, 2006). Informasi
merupakan kata benda berupa pengetahuan yang diberikan kepada seseorang dalam
bentuk yang dapat dipahami oleh orang lain.
Keberadaan informasi ini tidak bisa dilepaskan dari
media penyedia dan penyampai informasi, diantaranya adalah perpustakan.
Informasi dan perpustakaan adalah dua hal yang tidak bisa berdiri sendiri
karena tujuan hadirnya perpustakaan adalah untuk menyediakan, menyimpan,
mengolah dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi melalui
koleksi-koleksi yang dimilikinya.
Perpustakaan
dapat diartikan sebagai sebuah ruangan atau gedung yang digunakan untuk
menyimpan buku dan terbitan lainnya, yang dikelola menurut tata susunan
tertentu yang digunakan pembaca (Sulistyo-Basuki, 1991). Dalam Undang-undang
Republik Indonesia No. 43 tahun 2007, dijelaskan bahwa perpustakaan adalah lembaga
pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara profesional
dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian,
pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Dapat dikatakan bahwa
kehadiran perpustakaan ditengah-tengah masyarakat adalah untuk mengorganisir
dan mengelola informasi sehingga pada saat masyarakat membutuhkan suatu informasi,
informasi tersebut akan lebih mudah ditemukan.
Perpustakaan sebagai
media penyedia informasi harus mampu menyediakan informasi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat penggunanya. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat
bersifat heterogen baik dari segi jenis, bentuk dan konteksnya, sehingga
perpustakaan pun harus menyesuaikan keberadaannya dengan kebutuhan
tersebut. Ada beberapa jenis
perpustakaan, seperti perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan khusus,
perpustakaan sekolah, dan perpustakaan perguruan tinggi. Jenis-jenis
perpustakaan tersebut dikelompokkan berdasarkan informasi yang disediakan oleh
perpustakaan serta masyarakat pengguna perpustakaan.
Dalam kesempatan kali ini, pembicaraan akan lebih
difokuskan pada perpustakaan umum karena perpustakaan umum merupakan salah satu
bentuk perpustakaan yang bisa diakses oleh semua masyarakat dari berbagai
lapisan dan menyediakan koleksi yang beragam, terutama dalam hal subjek, serta
terdapat hampir diseluruh wilayah di dunia secara merata. Perpustakaan umum
bisa diartikan sebagai perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas
sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis
kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial-ekonomi. Idealnya, sebuah
perpustakaan umum harus menyediakan informasi, dalam bentuk koleksi
perpustakaan, yang bersifat heterogen dan merata kepada pemustaka. Hal ini
dikarenakan pemustaka dari perpustakaan umum berasal dari berbagai lapisan
masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda, sehingga kebutuhan akan
informasi pun berbeda-beda. Kebijakan dalam proses pengadaan koleksi di
perpustakaan umum harus disesuaikan dengan kebutuhan informarsi pemustaka.
Perpustakaan tidak boleh mengkhususkan informasi atau koleksi hanya pada subjek
ilmu tertentu saja, seperti koleksi di bidang teknologi, hukum atau ekonomi,
dan mengabaikan subjek-subjek ilmu lainnya, seperti filsafat, sejarah, atau
koleksi yang bersifat kedaerahan.
Akan tetapi fenomena
yang berkembang di masyarakat, justru sebaliknya. Hampir sebagian besar
perpustakaan umum, lebih mengutamakan penyediaan koleksi pada subjek-subjek
ilmu tertentu yang dianggap laris, seperti teknologi, ilmu ekonomi, ilmu hokum
dan kedeoteran, serta mengabaikan subjek-subjek ilmu yang dianggap kurang
diminati, seperti ilmu sejarah, filsafat, perpustakaan, atau kesenian. Hal ini
sangat bertentangan dengan tujuan perpusakaan sebagai lembaga peyedia informasi
seluas-luasnya bagi masyarakat. Oleh karena itu, penulisan ini akan membahas
lebih lanjut mengenai kebijakan penyedian informasi, dalam bentuk koleksi, yang
dilakukan oleh perpustakaan, serta praktik merkantilisasi informasi yang pada
umumnya terjadi di peprustakaan.
1.2.
Tujuan
Penulisan
Penulisan ini bertujuan
untuk mengemukakan fenomena merkantilisasi ilmu pengetahuan dalam proses
pengadaan koleksi di perpustakaan umum menurut perspektif post-modernisme.
1.3.
Batasan
Penulisan
Penulisan makalah
dengan judul, Merkantilisme Informasi di
Perpustakaan Umum Dalam Perspektif Post-Modernisme, ini hanya dibatasi pada
tataran wacana terhadap praktik merkantilisasi ilmu pengetahuan melalui proses
pengadaan koleksi yang dilakukan oleh perpustakaan umum di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Akses Globalisasi Pengetahuan
di Perpustakaan Umum
Logika ekonomi yang
merupakan inti dari globalisasi meresap ke dalam segenap aspek kehidupan.
Kondisi ini menyebabkan pihak lain yang memiliki pemikiran yang berbeda tidak
memiliki kebebasan dalam mengajukan pemikirannya. Segala yang bertentangan
dengan ideologi neoliberalisme yang menjadi ideologi inti globalisasi dianggap
keliru. Kondisi ini seringkali diandaikan dengan sebuah imperialisme gaya baru
(Fakih, 2003). Dalam konteks pengembangan pengetahuan, kondisi yang sama juga
berlangsung. Pengetahuan yang dianggap bermanfaat adalah pengetahuan yang dapat
menghasilkan teknologi yang laku dijual ke pasar. Hal inilah yang mendorong
terjadinya merkantilisme pengetahuan,
yakni pengetahuan yang dikembangkan sebagai obyek dagang untuk memenuhi kebutuhan pasar (Kleden, 2011).
Gejala merkantilisme
pengetahuan ini juga berimplikasi pada adanya gejala peminggiran pengetahuan
yang tidak berasal dari Tri Pusat Globalisasi. Pengetahuan-pengetahuan yang
berasal dari luar wilayah-wilayah ini dianggap tidak bermanfaat, inferior,
sehingga layak untuk dipinggirkan. Pemahaman ini pada akhirnya bermuara kepada
praktik pengembagan pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam lembaga
pendidikan, pengetahuan yang diajarkan dititikberatkan kepada pengetahuan yang
laku di pasaran tenaga kerja dengan mengabaikan pengetahuan yang dianggap tidak
laku.
Kondisi ini kemudian
merembet pula kepada perpustakaan. Karena pengembangan ilmu pengetahuan mengacu
kepada ilmu-ilmu yang laku di pasaran dan berorientasi pada Tri Pusat
Globalisasi maka bahan pustaka yang disediakan di perpustakaan pada akhirnya
didominasi oleh kedua jenis pengetahuan ini. Penyediaan koleksi yang hanya
berorientasi pada bidang tertentu dalam prakteknya akan mendorong perkembangan
bidang tersebut dan mengabaikan perkembangan bidang yang lain. Bidang yang
diprioritaskan akan dapat menghasilkan perkembangan keilmuan yang optimal
sedangkan bidang yang sebaliknya akan semakin ditinggalkan.
Perpustakaan umum
merupakan unit atau satuan kerja, badan atau lembaga yang membidangi
pengembangan pengetahuan masyarakat yang berada dalam jangkauannya. Bertugas
mengumpulkan, menyimpan, mengatur dan menyajikan bahan pustaka untuk masyarakat
umum. Perpustakaan umum diselenggarakan untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat umum tanpa memandang latar belakang pendidikan, agama, adat istiadat,
umur, jenis dan lain sebagainya, untuk itu koleksi perpustakaan umum terdiri
dari beraneka ragam bidang dan pokok masalah sesuai dengan kebutuhan informasi
dari penggunanya. Dalam Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Umum (2000:
5) dijelaskan bahwa Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan
di pemukiman penduduk (kota atau desa) diperuntukkan bagi semua lapisan dan
golongan masyarakat penduduk pemukiman tersebut untuk melayani kebutuhannya
akan informasi dan bahan bacaan. Definisi lain tentang perpustakaan umum
dikemukakan oleh Taslimah Yusuf (1996: 17) bahwa perpustakaan umum adalah
perpustakaan yang seluruh atau sebahagian dananya disediakan oleh masyarakat
dan penggunaannya tidak terbatas pada kelompok orang tertentu. Beberapa
pendapat di atas, mengemukakan bahwa perpustakaan umum adalah perpustakaan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah setempat baik kabupaten atau kota, yang
berada didaerah pemukiman penduduk, untuk melayani masyarakat dari berbagai
golongan tanpa membedakan agama, ras, status sosial ekonomi, usia dan gender.
2.1.1. Pengguna Perpustakaan Umum
Pengguna perpustakaan
umum sangat beragam, hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi perpustakaan umum
yang melayani masyarakat mulai dari tingkat persiapan sekolah hingga perguruan
tinggi, peneliti dan umum. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pedoman
Penyelenggaraan Perpustakaan Umum (2000)
bahwa mengingat fungsinya sebagai perpustakaan umum, maka penggunanya terdiri
dari berjenis-jenis lapisan masyarakat yang memiliki kebutuhan dan minat yang
berbeda terhadap bahan pustaka yang diinginkan. Dengan keberagaman pengguna
pada perpustakaan umum, maka dibutuhkan perbandingan yang proporsional antara
jumlah koleksi dan ruangan dengan jumlah pengguna dalam memenuhi kebutuhan
informasi.
2.1.2. Koleksi perpustakaan Umum
Perpustakaan umum
adalah perpustakaan dengan variasi penggunanya yang paling beragam jika dibandingkan
dengan jenis perpustakaan lain pada umumnya. Hal ini tentunya
berimplikasi terhadap cakupan keberagaman koleksi yang dimilikinya. Sutarno
(2006: 37) menyatakan bahwa perpustakaan umum sering diibaratkan
sebagai universitas rakyat, karena perpustakaan umum menyediakan semua
jenis koleksi bahan pustaka dari berbagai disiplin ilmu, dan penggunaannya oleh
seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Dari uraian di atas, disimpulkan
bahwa koleksi dari perpustakaan umum sangat beragam, artinya dari berbagai
jenis (buku maupun non buku), berbagai disiplin ilmu (pengguna yang beragam)
dan juga menyediakan koleksi bahan pustaka terbitan lokal.
Sebuah paradigma baru
menyimpulkan bahwa, salah satu kriteria penilaian layanan perpustakaan yang
bagus adalah dilihat dari kualitas koleksinya. Koleksi yang dimaksud tentu saja
mencakup berbagai format bahan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
alternatif para pemakai perpustakaan terhadap media rekam informasi. Setiap
kegiatan lain di perpustakaan akan bergantung pada pemilikan koleksi
perpustakaan yang bersangkutan (Ade Kohar, 2003). Setiap perpustakaan tentunya
mempunyai visi yang berbeda, namun dapat dipastikan bahwa perpustakaan itu
dikatakan berhasil bila banyak digunakan oleh komunitasnya. Salah satu aspek
penting untuk membuat perpustakaan itu banyak digunakan adalah ketersediaan
koleksi yang memenuhi kebutuhan penggunanya. Oleh karena itu tugas utama setiap
perpustakaan adalah membangun koleksi yang kuat demi kepentingan pengguna
perpustakaan. Pustakawan yang diberi tugas di bidang pengembangan koleksi,
harus tahu betul apa tujuan perpustakaan tempat mereka bekerja dan siapa
penggunanya, serta apa kebutuhannya. Yulia (1993: 27) menyatakan bahwa ada
beberapa pandangan dalam membangun suatu koleksi perpustakaan, yaitu :
1. Pandangan
tradisional
Prinsip
ini mengutamakan nilai intrinsik untuk bahan pustaka yang akan di koleksi
perpustakaan. Titik tolak yang mendasari prinsip ini ialah pemahaman bahwa
perpustakaan merupakan tempat untuk melestarikan warisan budaya dan sarana
untuk mencerdaskan masyarakat. Apabila dinilai tidak bermutu, bahan pustaka
tidak akan dipilih untuk diadakan.
2. Pandangan
liberal
Prioritas
pemilihan didasarkan atas popularitas. Artinya, kualitas tetap diperhatikan,
tetapi dengan lebih mengutamakan pemilihan karena disukai dan banyak dibaca
atau mengikuti selera masyarakat pengguna.
3. Pandangan
pluralistik
Prinsip
yang dianut pandangan ini berusaha mencari keselarasan dan keseimbangan di antara
kedua pandangan tersebut, baik tradisional maupun liberal.
Bila evaluasi koleksi
ini ingin dilakukan secara objektif, maka diperlukan serangkaian riset untuk
mendukung pengambilan keputusan. Diakui bahwa tugas evaluasi koleksi itu sulit,
dan sering kali hasilnya itu subjektif. Jadi seorang pelaksana evaluasi koleksi
harus bisa menyatakan apa adanya tentang koleksi. Metode evaluasi koleksi yang
tersedia tidak ada yang sempurna untuk dapat digunakan secara tunggal. Oleh
karena itu disarankan menggunakan kombinasi beberapa metode, sehingga dapat
saling menutupi kekurangan masing-masing metode. Langkah-langkah berikut ini
disarankan untuk diambil dalam mengevaluasi koleksi, meliputi :
1. Pengembangan
standar nilai dan mutupengembangan koleksi; mengambil contoh secara acak dari
koleksi dan memeriksa pemanfaatan buku
itu;
2. Mengumpulkan
data tentang judul-judul yang diinginkan
pengguna;
3. Mengumpulkan
data judul-judul yang dibaca di tempat;
4. Mengumpulkan
data dari aktivitas pinjam antar perpustakaan dan sebagainya.
Melakukan evaluasi
koleksi memang menyita banyak waktu, tetapi dari hasil evaluasi ini akan
diketahui kekuatan dan kelemahan koleksi. Dengan data itu, maka staf
pengembangan koleksi dapat memformulasikan kembali perencanaan untuk terus
memelihara koleksi yang kuat dan memperbaiki koleksi yang lemah. Semua
aktivitas evaluasi ini tentunya harus sejalan dengan fungsi dan tujuan
perpustakaan, serta kebutuhan komunitas. Bila evaluasi koleksi ini sudah
dilakukan secara rutin, akan terasa semakin ringannya tugas ini, terlebih bila
diingat bahwa proses ini akan membawa koleksi perpustakaan semakin dekat dengan
kebutuhan komunitas yang dilayani.
2.2.
Merkantilisme
Pengetahuan
Merkantilisme (Merchantilism) adalah sebuah kondisi
postmodernitas yang digambarkan oleh J. F. Lyotard, yaitu berupa komersialisasi
pengetahuan dan informasi dalam era kapitalisme global dewasa ini.
Merkantilisme pengetahuan dalam dunia pendidikan telah menggiring dunia
pendidikan ke arah beragai bentuk pendangkalan, pemassalan, dan populisme
sebagi nilai-nilai komersialisasi. Dalam pendidikan yang termerkantilisasi
model-model yang diutamakan adalah dimensi-dimensi pengetahuan yang pragmatis,
strategis, ekonomis yang pasti berorientasi keuntungan sebagai akibat dari hegemoni
kultural kapitalisme, dan sebaliknya menghambat dimensi-dimensi humanis,
sosiologis, atau spiritual dari pengetahuan. Pendidikan kemudian menjelma
menjadi alat hegemoni penyanggah kapitalisme. Akibat lebih jauh yang
ditimbulkan adalah lahirnya intelektual yang tetap mempertahankan fitur-fitur
utama dalam kapitalisme (kepemilikan, eksploitasi, ketiadaan kontrol kelas
pekerja atas faktor produksi, demokrasi representatif, penguasaan aset publik
oleh segelintir orang dan sentralisasi urusan-urusan publik).
Lebih jauh Lyotard,
menjelaskan tentang kondisi pendidikan dan pengetahuan dalam masyarakat
postindutri dan kebudayaan postmodernisme. Pengetahuan dalam era tersebut
dikemas dalam kemasan komoditi informasi dan kini menjadi alat penting dalam
perebutan kekuasaan dalam skala global. Negara bangsa yang dulu berjuang untuk
mempertahankan wilayah kini bersaing keras untuk mendapatkan akses informasi
bila tetap ingin bertahan hidup. Masalahnya kemudian adalah, beralihnya
kekuasaan dari negara bangsa ke perusahaan multinasional. Negara kini hanya
berperan membuat regulasi-regulasi untuk mengundang para investor dalam dunia
pendidikan. Di tangan perusahaan kapitalisme multinasional yang terjadi adalah
pengetahuan dan informasi (dan tentunya) ‘pendidikan’ sebagai komoditi untuk
diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kapitalisme menjadikan pendidikan serta pengetahuan yang tercipta didalamnya
sebagai komoditi untuk maraup untuk yang berliimpah. Ketika merkantilisme
pengetahuan telah menjadi fondasi dari institusi pendidikan maka berbagai
bentuk wacana komersial dan komodifikasi dicangkokkan dalam sistem pendidikan,
yang membatasi pertumbuhannya sendiri.
Logika ekonomi yang
merupakan inti dari globalisasi meresap ke dalam segenap aspek kehidupan.
Kondisi ini menyebabkan pihak lain yang memiliki pemikiran yang berbeda tidak
memiliki kebebasan dalam mengajukan pemikirannya. Segala yang bertentangan
dengan ideologi neoliberalisme yang menjadi ideologi inti globalisasi dianggap
keliru. Kondisi ini seringkali diandaikan dengan sebuah imperialisme gaya baru
(Fakih, 2003). Dalam konteks pengembangan pengetahuan, kondisi yang sama juga
berlangsung. Pengetahuan yang dianggap bermanfaat adalah pengetahuan yang dapat
menghasilkan teknologi yang laku dijual ke pasar. Hal inilah yang mendorong
terjadinya merkantilisme pengetahuan, yakni pengetahuan yang dikembangkan
sebagai obyek dagang untuk memenuhi kebutuhan pasar (Kleden, 2011).
Gejala merkantilisme
pengetahuan ini juga berimplikasi pada adanya gejala peminggiran pengetahuan
yang tidak berasal dari Tri Pusat Globalisasi. Pengetahuan-pengetahuan yang
berasal dari luar wilayah-wilayah ini dianggap tidak bermanfaat, inferior,
sehingga layak untuk dipinggirkan. Pemahaman ini pada akhirnya bermuara kepada
praktik pengembagan pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam lembaga
pendidikan, pengetahuan yang diajarkan dititikberatkan kepada pengetahuan yang
laku di pasaran tenaga kerja dengan mengabaikan pengetahuan yang dianggap tidak
laku. Kondisi ini kemudian merembet pula kepada perpustakaan. Karena
pengembangan ilmu pengetahuan mengacu kepada ilmu-ilmu yang laku di pasaran dan
berorientasi pada Tri Pusat Globalisasi maka bahan pustaka yang disediakan di
perpustakaan pada akhirnya didominasi oleh kedua jenis pengetahuan ini.
Penyediaan bahan pustaka yang hanya berorientasi pada bidang tertentu dalam
prakteknya akan mendorong perkembangan bidang tersebut dan mengabaikan
perkembangan bidang yang lain. Bidang yang diprioritaskan akan dapat
menghasilkan perkembangan keilmuan yang optimal sedangkan bidang yang
sebaliknya akan semakin ditinggalkan.
2.3.
Pengembangan
Perpustakaan Umum Alternatif: Sebuah Respon Kebudayaan
Arus pengetahuan global
dari negara-negara pusat ke negara-negara pinggiran seperti Indonesia tidak bisa dibendung. Hal
ini tidak semata-mata karena arus globalisasi yang sangat kuat atas dukungan
negara-negara kapitalisme global, tetapi juga karena orang Indonesia memaknai
kemajuan pengetahuan
dalam konteks pengadopsian budaya Barat. Pencitraan ini memberikan dukungan
kuat bagi derasnya arus glolabisasi atas masyarakat Indonesaia. Namun,
sebagaimana dikemukakan Ritzer (2006),
walaupun terjadi arus budaya global dari pusat ke pinggiran, namun bukan berarti
orang pinggiran menerima begitu saja, melainkan selalu ada kemungkinan mereka
melakukan glokalisasi, yakni mengekspresikan produk lokal secara global
(mengglobalkan yang lokal). Kemunculan glokalisasi bertalian dengan adanya
kenyataan bahwa “ … Individu-individu dan kelompok-kelompok lokal memiliki
kekuasaan besar untuk menyesuaikan diri, memperbaharui, dan melalukan manuver
dalam sebuah dunia global. Teori glokalisasi melihat individu-individu dan
kelompok-kelompok sebagai agen-agen yang penting dan kreatif (Ritzer, 2006).
Kesadaran untuk
senantiasa mengglobalkan sesuatu yang lokal ini hendaknya juga dilakukan dalam
penyediaan informasi oleh perpustakaan sebagai sebuah lembaga informasi.
Perpustakaan harus menyediakan bahan-bahan pustaka lokal yang dapat bermanfaat
bagi pengembangan pengetahuan. Dalam konteks Indonesia hal ini sebenarnya
tidaklah terlampau sulit karena Indonesia kaya akan berbagai bahan pustaka lokal yang
berasal dari berbagai etnis di Indonesia. Hal ini mengingat Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya
dengan kebudayaan yang sangat banyak tersebar di seluruh Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Globalisasi merupakan
sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari. Dalam prakteknya, fenomena ini
memposisikan negara-negara tertentu sebagai pusat globalisasi sementara negara
lainnya menjadi daerah pinggiran. Segala sesuatu yang berasal dari pusat secara
sadar atau tidak harus diterima dan mendominasi di daserah-daerah pinggiran. Jika
dikaji lebih jauh globalisasi menyelubungi sebuah ideologi neoliberalisme yang
mereduksi manusia semata sebagai mahluk ekonomi. Hal ini menjadikan hubungan
antar individu semata didasarkan atas pertimbangan untung dan rugi.
Kondisi ini juga
terjadi dalam pengembangan informasi/pengetahuan. Informasi dan pengetahuan
yang dapat dikembangkan adalah informasi yang dapat dijual dan berasal dari
negara-negara yang menjadi pusat globalisasi. Kenyataan ini tentu saja
meminggirkan pengetahuan/informasi yang dianggap tidak laku dijual atau berasal
dari negara-negara pinggiran. Untuk mengatasi hal ini perpustakaan dapat
berperan dengan tidak hanya
menyediakan informasi-informasi yang dianggap laku tetapi juga menyediakan
informasi-informasi yang sifatnya lokal yang memuat pengetahuan tentang
kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, perpustakaan harus mampu mempertahankan
nilai-nilai budaya lokal dalam gempuran arus deras teknologi informasi karena perpustakaan juga berperan dalam pelestarian
kebudayaan bangsa termasuk kebudayaan lokal atau daerahnya.
Daftar Pustaka
Ade
Kohar, 2003. Teknik Penyusunan Kebijakan
Pengembangan Koleksi Perpustakaan: Suatu Implementasi Studi Retrospektif.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI.
Althusser,
Louis. 2004. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis,
Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Amal,
Ichlasul. 1998. “Perspektif Pembangunan Jangka Panjang Globalisasi, Demokrasi
dan Wawasan Nusantara”. Dalam Yaya M. Abdul Aziz ed. Visi Global Antisipasi
Indonesia Memasuki Abad Ke-21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih,
Mansour. 2003. Bebas dari Neoliberalisme.
Yogyakarta: Insist Press.
Jencks,
Charles. 1989. What is Post-Modernisme?
(3rd.ed). New York: St Martin's Press.
Kleden, P.B. 2011. “Mempertimbangkan Pluralitas”. Dalam
W. Gault. Filsafat Posmodernisme Lyotard. Flores: Ledalero.
Koentjaraningrat.
1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: Dian Rakyat.
Lubis,
Akhyar Yusuf. 2003. Setelah Kebenaran dan
Kepastian dihancurkan Masih Adakah tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor:
Akademia.
Lull, J. 1998. Media
Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pengantar Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Martin, William. J. (2003). Global
Infprmation Society. London: Aslib Gower.
Nugroho,
Januar. 2005. “Rekayasa Merawat Neoliberalisme: Menggagas Kembali Peran
Teknologi untuk Akumulasi Laba”. Wacana,
Edisi 19, Tahun VI.
Perpustakaan
Nasional RI. 2000. Pedoman Umum
Penyelenggaraan Perpustakaan Umum. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Perpustakaan
Nasional RI. 2007. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 43 Tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Ritzer,
George. 2006. Mengkonsumsi Kehampaan di
Era Globalisasi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Steger,
M.
B. 2005. Globalisme Bangkitnya Ideologi
Pasar. Yogyakarta: Lafadl Pustaka.
Sulistyo-Basuki,
dkk. 2006. Perpustakaan dan Informasi dalam konteks budaya. Jakarta:
Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi. FIB-UI.
Sutarno,
NS. 2006. Manajemen Perpustakaan Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: Sagung Seto.
Takwim, Bagus. 2003. Akar-akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra.
Yulia,
Yuyu. 1993. Materi Pokok Pengadaan Bahan
Pustaka. Jakarta: Universitas Terbuka.
Yusuf
Taslimah. 1996. Manajemen Perpustakaan
Umum. Jakarta: Universitas Terbuka.
Pak ajarin materi ini pak hehe, rozi ilpus 2015
BalasHapus