Selasa, 03 Desember 2013

Optimalisasi Peran Perpustakaan dalam Siklus Transfer Informasi

Pendahuluan
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini berdampak pada derasnya arus informasi yang mengalir, dengan banyaknya media yang mendukung siklus terbentuknya pengetahuan baru yang kemudian bertransformasi menjadi informasi baru akan menimbulkan dampak banjir informasi.
Membanjirnya informasi yang ada memiliki dua dampak sekaligus yang mempunyai efek hampir bersamaan yaitu dampak positif dan negatif bagi pencari informasi, dampak positifnya adalah terbukanya berbagai macam informasi sehingga pencari informasi memiliki kesempatan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada, namun di balik itu juga terdapat dampak negatifnya karena terlalu banyaknya informasi yang tersedia pencari informasi rawan terjembab dalam informasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau bahkan informasi yang salah, maka oleh karena itu pencari informasi dituntut memiliki kemampuan untuk menemukan dan menilai informasi yang ditemukannya tersebut apakah termasuk merupakan informasi yang berkualitas dan relevan bagi kebutuhan informasinya.
Perihal di atas merupakan peluang dan tantangan bagi perpustakaan untuk dapat memberikan obat penawar bagi para pencari informasi, perpustakaan dituntut untuk dapat menjadi mediator antara informasi dan manusia (pencari informasi) yang kemudian mempertemukan informasi yang relevan dengan manusia yang tepat (membutuhkan).
Fungsi Perpustakaan dan Pustakawan dalam Siklus Transfer Informasi
“Informasi” mempunyai berbagai macam konotasi yang berbeda dalam tiap bidang, menurut Saracevic (1999) “informasi” mempunyai makna yang terdiri dari tiga arti, yaitu mencakup arti sempit, arti luas, dan arti paling luas. Informasi dalam arti sempit berhubungan dengan istilah sinyal atau pesan untuk pengambilan keputusan. Informasi dalam arti luas berkaitan dengan proses kognitif dan pemahaman, penjabarannya adalah interaksi antar dua struktur kognitif (pikiran dan teks), proses tersebut memberikan pengaruh pada pikiran, karena adanya pemahaman. Sedangkan informasi dalam arti yang paling luas berkaitan dengan konteks, informasi tidak hanya sebuah pesan (arti sempit) dan proses kognitif (arti luas) namun juga harus sesuai dengan konteks (situasi, permasalahan, atau minat). Informasi dalam arti luas inilah yang harus diperhatikan karena informasi yang dapat dimanfaatkan adalah informasi yang sesuai konteks atau memiliki alasan untuk digunakan (relevan).
Terdapat dua cara memperoleh akses informasi, pertama informasi dapat diperoleh langsung dari si pembuat informasi dengan cara mengakses informasi yang telah direkamnya dalam sebuah media, kedua melalui perantara pusat informasi (perpustakaan) .Perpustakaan dalam siklus transfer informasi dapat digambarkan pada diagram berikut ini:



Fungsi utama perpustakaan pada gambar di atas adalah sebagai mediator antara sekumpulan populasi pengguna perpustakaan dengan timbunan informasi yang tersedia. Perpustkaan harus mampu mendefinisikan penggunanya dengan baik mengenai latar belakang dan kebutuhan informasinya, sehingga perpustakaan mampu menyediakan informasi yang berkualitas serta sesuai dengan kebutuhan penggunanya, seperti halnya definisi informasi yang dipaparkan di atas.
Perpustakaan hanyalah sebuah instansi, tetap saja yang menjalankan fungsi dan peran perpustakaan adalah para agen perpustakaan yaitu pustakawan. Pustakawan dituntut untuk memiliki kompetensi untuk dapat menilai kualitas dari sebuah informasi yang ada sampai nanti akhirnya dapat disajikan dengan baik dan tepat sasaran sesuai dengan pengguna yang membutuhkan. Pengguna perpustakaaan pun mempunyai andil dalam proses pemilihan informasi ini, partisipasi pengguna sangat dibutuhkan untuk mempermudah pustakawan memetakan kebutuhan informasi pengguna perpustakaannya.
Fungsi perpustakaan sebagai mediator bukanlah fungsi yang pasif yang hanya menjadi fasilitator tempat bertemunya pengguna dan informasi, namun lebih dari itu, fungsi perpustakaan sebagai mediator adalah fungsi yang aktif yang mengusahakan memberikan informasi yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan penggunanya, untuk membantu perpustakaan mengoptimalisasi fungsi tersebut maka dibutuhkan sebuah sistem komperhensif agar dapat menemu kembalikan informasi dengan baik dan relevan sesuai dengan harapan pencari informasi tersebut.
Sistem Temu Kembali Informasi
Sistem Temu Kembali Informasi merupakan sistem yang berfungsi untuk menemukan informasi yang relevan dengan kebutuhan pemakai. Perihal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa informasi yang diproses terkandung dalam sebuah dokumen yang bersifat tekstual, dalam konteks ini temu kembali informasi berkaitan dengan representasi, penyimpanan, dan akses terhadap dokumen.
Sistem Temu Kembali Informasi didesain untuk menemukan dokumen atau informasi yang diperlukan oleh masyarakat pengguna. Sistem Temu Kembali Informasi bertujuan untuk menjembatani kebutuhan informasi pengguna dengan sumber informasi yang tersedia. Berkaitan dengan sumber informasi dan kebutuhan informasi pengguna, Sistem Temu Kembali Informasi berperan untuk menganalisis isi sumber informasi dan pertanyaan pengguna serta mempertemukan pertanyaan pengguna dengan sumber informasi untuk mendapatkan dokumen yang relevan.
Adapun fungsi utama sistem temu kembali informasi seperti dikemukakan oleh Lancaster (1979) dan Kent (1971) adalah sebagai berikut:
1.    Mengidentifikasi sumber informasi yang relevan dengan minat masyarakat pengguna yang ditargetkan.
2.    Menganalisis isi sumber informasi  (dokumen)
3.    Merepresentasikan isi sumber informasi dengan cara tertentu yang memungkinkan untuk dipertemukan dengan pertanyaan (query) pengguna.
4.    Merepresentasikan pertanyaan (query) pengguna dengan cara tertentu yang memungkinkan untuk dipertemukan sumber informasi yang terdapat dalam basis data.
5.    Mempertemukan pernyataan pencarian dengan data yang tersimpan dalam basis data.
6.    Menemu-kembalikan informasi yang relevan.
7.    Menyempurnakan unjuk kerja sistem berdasarkan umpan balik yang diberikan oleh pengguna.
IFLA juga memberikan fungsi katalog (sistem temu kembali informasi) yang dirumuskannya dalam Statement of International Cataloguing Principles, yaitu sebagai berikut:
1.      To find, yaitu membantu menemukan sumber informasi pada sebuah tatanan koleksi dari hasil pencarian menggunakan atribut atau hubungan yang tertera pada sumber informasi.
2.      To identify, yaitu membantu mengidentifikasi sumber informasi dengan mengenali dan mengkonfirmasi terhadap sumber informasi yang dicari di antara dua atau lebih suber informasi yang memiliki karakter yang sama.
3.      To select, yaitu membantu memilih sumber informasi yang sesuai dengan kebutuhan informasi atau menolak (reject) sumber informasi yang tidak sesuai dengan kebutuhannya.
4.      To obtain, yaitu untuk mendapatkan akses dari sebuah item (eksemplar sumber informasi) yang didiskripsikan pada catalog; apakah pinjam, beli, atau akses melalui internet.
5.      To navigate, yaitu memandu pengguna melalui katalog; bagi pengguna yang belum dapat menentukan dengan jelas kebutuhan informasinya, melalui penyusunan data bibliografi dan kepengarangan yang lengkap serta hubungan antar sumber informasi yang berkaitan pada catalog akan memandu pengguna untuk dapat menentukan dan menemukan informasi yang dibutuhkan.
Fungsi-fungsi dari sistem temu kembali informasi yang dipaparkan di atas mempunyai muara tujuan yang sama yaitu membantu pengguna dalam mencari sumber informasi secara cepat, tepat, dan akurat.
Sistem temu kembali informasi merupakan sebuah sistem yang memiliki beberapa komponen penyusunnya atau pembentuknya, menurut Lancaster (1979) Sistem Temu Kembali Informasi terdiri dari 6 (enam) subsistem, yaitu:
1.    Subsistem dokumen
2.    Subsistem pengindeksan
3.    Subsistem kosa kata
4.    Subsistem pencarian
5.    Subsistem antarmuka pengguna-sistem
6.    Subsistem penyesuaian.
Dokumen sebagai objek data dalam Sistem Temu Kembali Informasi merupakan sumber informasi. Dokumen biasanya dinyatakan dalam bentuk indeks atau kata kunci. Kata kunci dapat diekstrak secara langsung dari teks dokumen atau ditentukan secara khusus oleh spesialis subjek dalam proses pengindeksan yang pada dasarnya terdiri dari proses analisis dan representasi dokumen. Pengindeksan dilakukan dengan menggunakan sistem pengindeksan tertentu, yaitu himpunan kosa kata yang dapat dijadikan sebagai bahasa indeks sehingga diperoleh informasi yang terorganisasi. Sementara itu, pencarian diawali dengan adanya kebutuhan informasi pengguna. Dalam hal ini Sistem Temu Kembali Informasi berfungsi untuk menganalisis pertanyaan (query) pengguna yang merupakan representasi dari kebutuhan informasi untuk mendapatkan pernyataan-pernyataan pencarian yang tepat. Selanjutnya pernyataan-pernyataan pencarian tersebut dipertemukan dengan informasi yang telah terorganisasi dengan suatu fungsi penyesuaian (matching function) tertentu sehingga ditemukan dokumen atau sekumpulan dokumen. Proses tersebut dapat diilustrasikan seperti gambar berikut:

Peran Bersama Antara Pustakawan dan Pemustaka
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 perpustakaan merupakan institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka, yang diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan.
Perpustakaan mempunyai tanggung jawab moral untuk menyebar luaskan informasi kepada para penggunanya dengan menyediakan berbagai macam jasa layanan. Namun perpustakaan sebagai lembaga non-profit yang menyediakan jasa informasi cenderung tidak mempertimbangkan harapan dan kebutuhan penggunanya dalam memberikan layanan. Berbeda dengan lembaga profit, yang menjadikan kebutuhan dan harapan pelanggan sebagai prioritas utama dalam pelayanan.
Tidak adanya pertimbangan dalam pengadaan koleksi bahan pustaka pada perpustakaan mengakibatkan kesenjangan persepsi antara pustakawan (staf perpustakaan) dengan pemustaka (pengguna jasa perpustakaan). Bahan putaka yang diakuisisi atas dasar kepentingan subjek (pustakawan) tanpa memperhatikan objek yang akan dilayani (pemustaka), maka bahan pustaka tersebut cenderung tidak dimanfaatkan sehingga akhirnya dilupakan begitu saja tanpa adanya evaluasi.
Fenomena tersebut diatas jelas sudah menyimpang dari UU RI Nomor 43 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan perpustakaan berdasarkan pada asas demokrasi. Pemustaka yang sudah jelas sekali sebagai penerima tunggal dari layanan perpustakaan, namun kebutuhan dan harapannya tidak dijadikan pijakan dalam membangun layanan yang ada.
Idealnya sebuah perpustakaan yang mempunyai misi untuk menyediakan kebutuhan informasi kepada para pemustakanya, dalam mengakuisisi bahan pustaka selalu melibatkan pemustaka dalam pemilihan prioritas bahan pustaka yang akan dilayankan. Bahan pustaka yang bermutu adalah bahan pustaka yang dibangun berdasarkan masukan, evaluasi dan keterlibatan banyak orang: pengguna , staff perpustakaan, dan pimpinan perpustakaan, sehingga terciptalah sumber informasi yang presisi dan sesuaidengan ekspektasi kebutuhan informasi pemustaka, seperti inilah wajah layanan perpustakaan yang bermutu.

Ramuan penting guna meraih kesuksesan dalam layanan perpustakaan yang bermutu adalah komuikasi dan kolaborasi antar pustakawan dan pemustaka dalam mengembangkan layanan perpustakaan. Berikut ini akan dijabarkan lebih terperinci mengenai ramuan penting dari sebuah layanan perpustakaan yang bermutu (Casey:2007):

1.             Partisipasi pengguna atau pemustaka: partisipasi pemustaka akan memperkaya program dan layanan yang ditawarkan perpustakaan. Patisipasi pemustaka di sini berarti keterlibatan pemustaka dalam membuat dan mengevaluasi program dan layanan perpustakaan. Hal ini bukan berarti pemustaka mengambil alih fungsi pustakawan dalam semua penciptaan dan evaluasi dalam perpustakaan, namun setidakanya pemustaka juga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam keputusan dan kebijakan perpustakan.

2.             Perubahan yang konstan dan bertujuan: manfaat dari perubahan yang konstan dan bertujuan ini akan terlihat ketika dibandingkan dengan metode “perencanaan, Implementasi, dan dilupakan”: maksudnya adalah banyak perpustakaan yang memutuskan untuk melakukan layanan jenis baru, mereka merencanakannya, melaksanakannya, kemuadian tiba-tiba hilang dan lupa begitu saja tanpa adanya evaluasi dan pengembangan lebih lanjut.

3.             Merangkul pemustaka yang sudah ada dan meraih pemustaka yang potensial: maksud dari pemustaka yang potensial adalah masyarakat yang belum memanfaatkan jasa layanan perpustakaan, namun mereka memiliki potensi untuk memanfaatkan layanan perpustakaan. Merangkul pemustaka yang sudah ada dapat dilakukan dengan merealisasikan layanan yang dibangun atas dasar komunikasi dan kolaborasi antar pustakawan dan pemustaka serta selalu megevaluasi secara berkala layanan tersebut. Meraih pemustaka yang potensial dilakukan secara proaktif dengan memanfaatkan teknologi internet dan website, dengan membangun website perpustakaan maka masyarakat luas dapat dengan mudah mengenal perpustakaan, dapat juga ditunjang dengan membangun grup di jejaring social facebook misalnya, yang akan mengundang fenomena “getok tular” sehingga perpustakaan akan lebih dikenal oleh masyarakat luas, sehingga termotifasi untuk memanfaatkannya.

Kebutuhan dan harapan pengguna perpustakaan akan senantiasa berubah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, perpustakaan harus berusaha lebih keras lagi untuk mengendalikan perubahan yang terjadi. Sekarang perpustakaan telah berada pada titik di mana jika pepustakaan tidak membuat perubahan yang signifikan dengan membuat dan merawat layanan yang bermutu, maka perpustakaan akan kehilangan relevansinya terhadap kebutuhan dan harapan pengguna perpustakaan, dengan kata lain perpustakaan itu sudah tidak ada gunanya lagi. Untuk mengoptimalisasikan fungsi dan peran sistem temu kembali informasi dalam rangka mencapai tujuan utamanya untuk mempertemukan penggunanya dengan informasi yang berkuallitas dan relevan maka di sinilah letak peran bersama antara pustakawan dan pemustakanya. Pustakawan dituntut mempunyai kemampuan untuk memetakan kebutuhan informasi penggunanya, dengan metode kuesioner atau wawancara yang melibatkan pengguna perpustakaan, maka akan dapat ditemukan rumusan informasi yang berkualitas serta sesuai dengan kebutuhan pengguna perpustakaan.
            Enam komponen dalan sistem temu kembali informasi yang telah disebutkan di atas kemudian ditambah dan diperkuat dengan adanya proses penyesuaian kebutuhan informasi pengguna terhadap koleksi yang ada, secara otomatis akan mengoptimalkan fungsi dan tujuan sistem temu kembali informasi.
Peran Perpustakaan Universitas Indonesia dalam Optimalisasi Siklus Transfer Informasi
            Perpustakaan merupakan jantungnya perguruan tinggi.  Perpustakaan perguruan tinggi memiliki peran krusial bagi civitas akademika perguruan tinggi, yaitu sebagai pusat belajar dan pembelajaran, pusat penelitian, pusat sumber informasi, pusat penyebaran informasi dan pengetahuan, serta pusat pelestarian ilmu pengetahuan. Perpustakaan Universitas Indonesia merupakan pusat sumber informasi utama bagi civitas akademika Universitas Indonesia. Sebagai pusat sumber informasi utama, Perpustakaan Universitas Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan informasi civitas akademika Universitas Indonesia.
            Perpustakaan Universitas Indonesia dibangun dengan basis konsep learning common yaitu dengan menjadikan perpustakaan sebagai tempat meeting point untuk belajar, penelitian, diskusi, dan aktifitas lainnya. Konsep ini diterapkan dengan menyediakan banyak ruang untuk berdiskusi dan berinteraksi seperti meja, kursi, serta sofa yang diperuntukan bagi pemustaka yang kelelahan karena belajar dapat sejenak tidur di atas sofa tersebut. Food corner dan  kedai kopi juga disediakan di dalam gedung perpustakaan, hal ini diperuntukan agar ketika pemustaka butuh makanan atau minuman mereka tidak harus keluar dan meninggalkan perpustakaan, karena setelah mereka selesai makan dan minum mereka dapat langsung kembali melakukan aktifitasnya di perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan informasinya. Bentuk gedung dan ruangan yang cukup artistik juga merupakan usaha untuk menciptakan daya magnet bagi para pemustakanya untuk senantiasa berkunjung ke perpustakan ketika hendak memenuhi kebutuhan informasi.
            Esensi dari sebuah perpustakan adalah sumber informasi yang dimiliki yang diperuntukan bagi pemustakanya. Perpustakan Indonesia memiliki sistem manajemen informasi berbasis web yang dikenal dengan nama lontar. Tampilan sistem manajemen informasi ini cukup user friendly karena selain menggunakan bahasa indonesia, menu-menu utamanya juga terpampang dengan jelas di bagian atas dan samping pada tampilan awal sehingga pengguna akan sangat mudah mengenali fasilitas apa yang disediakan oleh sistem manajemen informasi tersebut. Sistem temu kembali yang diterapkan pada lontar menggunaka logika boelan yang memungkinkan untuk mengkombinasi kata kunci pencarian berdasarkan judul, pengarang, tahun, subjek, dan abstrak, serta disertai panduan tertulis pencarian menggunakan sistem tersebut, hal ini sangat memudahkan bagi pemustaka ketika melakukan temu kembali sumber informasi. Menu “usulan pengadaan” pada sistem lontar bertujuan untuk menyediakan ruang bagi pemustaka untuk mengungkapkan keutuhan informasi mereka, hal ini merupakan upaya perpustakaan untuk mengembangkan koleksi sumber informasi yang sesuai dengan kebutuhan melalui kolaborasi antara pemustaka dan pustakawan.
            Layanan Referensi Perpustakaan Universitas Indonesia merupakan layanan yang diberikan kepada pemustaka berupa kegiatan konsultasi informasi di mana staf pustakawan merekomendasikan, mengiterpretasikan, mengevaluasi, serta menggunakan sumber daya informasi yang tersedia untuk membantu pemustaka memenuhi kebutuhan informasinya. Dalam kegiatan layanan referensi terjadi interaksi antara pustakawan dan pemustaka. Pemustaka menceritakan dengan detail kebutuhan informasinya, sehingga pustakawan dapat memahami dengan baik kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka tersebut. Pustakawan juga dapat melakukan konfirmasi kepada pemustaka mengenai informasi yang telah berhasil ia temuan, apakah informasi tersebut sesuai dengan kebutuhan informasi pemustaka. Layanan Referensi Perpustakaan Universitas Indonesia juga membekali pemustakanya dengan literasi informasi agar pemustaka memiliki kemampuan untuk mencari informasi baik di luar maupun di dalam perpustakaan secara mandiri.
            Perihal tersebut di atas memberikan gambaran yang jelas perbedaan antara mesin pencari seperti “google” dengan perpustakaan. Google mampu memberikan seribu jawaban kepada penggunanya, namun pustakawan mampu memberikan jawaban yang sesuai bagi pemustakanya. Tidaklah cukup hanya mesin yang bekerja, adanya sisi humanisme dalam proses interaksi konsultasi kebutuhan informasi anatar pemustaka dengan pustakawan, memungkinkan bagi pustakawan untuk memberikan solusi yang paling tepat dan sesuai dengan kebutuhan informasi yang dimiliki oleh pemustaka.
                                                                                         
Kesimpulan
            Dalam Perpustakaan sistem temu kembali informasi merupakan sebuah media atau alat bantu untuk mempertemukan penggunanya dengan informasi yang relevan dengan kebutuhannya. Tanpa adanya campur tangan manusia untuk mengatur informasi yang terdaftar pada sistem, maka akan terlalu banyak informasi yang tidak sesuai atau bahkan tidak akan pernah ada tertampil pada sistem temu kembali informasi.
            Pernyataan di atas mempertegas keharusan adanya fungsi humanisme seorang pustakawan untuk berinteraksi langsung dengan penggunanya dalam menilai dan menentukan bahan informasi yang dikoleksi yaitu informasi yang relevan dengan kebutuhan penggunanya.

Daftar Pustaka

Casey, Michael E., & Savastinuk, Laura C. (2007). Library 2.0: a Guide to Participatory Library Service. New Jersey: Information Today.

                Chowdhury, G.C. (2004). Introduction to Modern Information Retrieval, 2 nd Edition. Facet Publishing: London
                IFLA. (2009). Statement of International Cataloguing Principles. http://www.ifla. org/files / cataloguing/icp/icp_2009-en.pdf
Kent, A. (1971) Information Analysis and Retrieval, 3 rd Edition. Becker and Heys: New York
Lancaster, F.W. (1979). Information Retrieval Systems: Characteristics, Testing, and Evaluation, 2 nd Edition, John Wiley: New York
Saracevic, Tefko. (1999). “Information Science” dalam Journal of the American Society for Information Science, vol 50 no. 12


Tidak ada komentar:

Posting Komentar