Kamis, 31 Mei 2012

Demokrasi dalam Perpustakaan


Pendahuluan
Komunikasi adalah hubungan kontak antar manusia baik individu maupun kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri.
Untuk menjalin rasa kemanusiaan diperlukan saling pengertian antar setiap anggota masyarakat. Dalam hal ini faktor komunikasi memainkan peran yang sangat vital, apalagi bagi masyarkat modern. Manusia modern adalah manusia yang cara berfikirnya dalam mlaksanakan kegiatan dan aktifitasnya tidak berdasarkan spekulasi, namun berdasar pada rasional atau penalaran. Kegiatan dan aktifitas tersebut akan terselenggara dengan baik melalui proses komunikasi antar manusia.
Dalam proses komunikasi terjadi tukar menukar pendapat, penyempaian pesan informasi, serta perubahan sikap dan perilaku. Pada hakekatnya dalam proses komunikasi terdapat unsur-unsur tersebut tersebut yaitu sumber pesan, saluran, dan penerimaan, disamping itu terdapat pula unsur yang utama yaitu unsur pengaruh (effect) dan umpan balik (feed back). Bagaimanapun juga setiap komunikasi yang dilakukan senantiasa memberikan efek yang positif atau efektifitas komunikasi. Komunikasi yang tidak menginginkan efektifitas adalah komunikasi yang tidak bertujuan. Efek dalam komunikasi adalah perubahan yang terjadi pada penerima (komunikan), sebagai akibat dari pesan yang diterima, jika perubahan itu sesuai dengan harapan komunikator, maka komunikasi tersebut disebut efektif.
Perpustakaan adalah lembaga penyedia informasi bagi masyarakat luas. Perpustakaan mengalami perubahan hampir di setiap penjuru, baik aktifitasnya maupun tanggung jawabnya (visi atau misi), yang tetap dan tidak mengalami perubahan adalah perubahan itu sendiri. Perpustakaan atau pusat informasi tidak akan bisa mengelak dari perubahan yang terjadi, dengan mengenali dan mengendalikan dampak dari perubahan merupakan langkah yang paling tepat bagi keberlangsungan organisasi informasi ini. Perubahan yang terjadi membutuhkan pertimbangan dan keputusan yang tepat terhadap metode, teknik, dan alat-alat yang akan digunakan untuk memperbaiki kegiatan pelayanan informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh banyak faktor yang terjadi dalam masyarakat baik faktor sosial, budaya, maupun teknologi. Untuk mengatasi kesenjangan persepsi yang terjadi antara perpustakaan dan masyarakat diperlukan komunikasi yang efektif guna menghasilkan layanan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.

Jürgen Habermas
Jürgen Habermas lahir di Düsseldorf, Jerman, pada tahun 1929. Habermas masuk ke adegan intelektual dimulai pada tahun 1950-an dengan kritik berpengaruh filsafat Martin Heidegger. Ia belajar filsafat di Universitas di Göttingen dan Bonn, yang diikuti dengan studi dalam filsafat dan sosiologi di Institut Penelitian Sosial di bawah Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Pada 1960-an dan 70-an ia mengajar di Universitas Heidelberg dan Frankfurt am Main. Dia kemudian menerima jabatan direktur di Institut Max Planck di Starnberg pada tahun 1971. Pada tahun 1980 ia memenangkan Hadiah Adorno, dan dua tahun kemudian ia mengambil jabatan profesor di Universitas Frankfurt, yang tersisa di sana sampai pensiun pada tahun 1994.
Pemikiran-pemikiran habermas bertolak dari ide-ide yang sederhana, khususnya tentang moderenitas dan berbagai kontradiksi dengan prinsip dan cita-cita modernitas itu sendiri. Berikut ini akan dibahas salah satu pemikiran habermas mengenai dialog atau komunikasi.
Teori Aksi Komunikatif
Habermas melakuakan perubahan paradigma dari “filsafat subyek” ke “filsafat komunikasi”, dari “filsafat kesadaran” ke “filsafat bahasa” dengan memfokuskan pada dialog yang setara. Habermas berpaling pada bahasa untuk mencari dasar filosofis untuk teori kritis baru, melalui buku Theory Comunicative Action habermas menyatakan bahwa dalam fenomena bahasa dan komunikasi antar manusia terkandung norma-norma untik mengkritik segala bentuk dominasi dan penindasan serta untuk memperjuangkan demokratisasi.
Teori tindakan komunikatif menempatkan bahasa sebagai media interaksi sosial. Dalam teori tindakan komunikatif, klaim validitas ucapan berkaitan dengan motif yang bersifat rasional. Habermas mengemukakan bahwa ada tiga klaim validitas yang berkaitan dengan tindak bahasa: pertama adalah klaim dinyatakan benar jika pernyataan eksistensinya memuaskan, kedua tindakan ucapan benar berdasarkan konteks normatif yang berlaku, ketiga kesungguhan dari pengguna bahasa dalam menyatakan sesuatu. Klaim ini memungkinkan pengguna bahasa membuka subjektivitasnya.
Habermas menyatakan bahwa komunikasi atau interaksi merupakan tindakan manusia yang paling dasar. Habermas melakuakan perubahan paradigma secara radikal dari “filsafat subyek” ke “filsafat komunikasi”. Dengan demikian norma umum tidak lagi ditentukan oleh subjek imperative kategoris, akan tetapi ditentukan oleh kesepakatan komunitas yang berkomunikasi atau “peraturan argumentasi”. Menurut habermas hanya norma-norma yang disetujui oleh anggota masyarakat atau peserta sebuah diskursus praktislah yang dianggap valid.
Teori tindakan komunikatif Habermas banyak diterapkan oleh politik dan hukum, yang menganjurkan sebuah "demokrasi deliberatif" di mana lembaga-lembaga pemerintah dan hukum akan terbuka untuk refleksi dan diskusi bebas oleh publik.
Dalam tulisan ini penulis mencoba menerapkan teori aksi komunikatif pada perpustakaan yaitu dengan membangun demokratisasi dalam perpustakaan sebagai upaya penciptaan layanan perpustakaan yang bermutu dan relevan bagi pemustaka (pengguna perpustakaan).
Demokratisasi dalam Perpustakaan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 perpustakaan merupakan institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka, yang diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan.
Perpustakaan mempunyai tanggung jawab moral untuk menyebar luaskan informasi kepada para penggunanya dengan menyediakan berbagai macam jasa layanan.
Perpustakaan sebagai lembaga non-profit yang menyediakan jasa informasi cenderung tidak mempertimbangkan harapan dan kebutuhan penggunanya dalam memberikan layanan. Berbeda dengan lembaga profit, yang menjadikan kebutuhan dan harapan pelanggan sebagai prioritas utama dalam pelayanan.
Tidak adanya pertimbangan dalam pengadaan layanan perpustakaan mengakibatkan kesenjangan persepsi antara pustakawan (staf perpustakaan) dengan pemustaka (pengguna jasa perpustakaan). Sistem layanan yang dibangun atas dasar kepentingan subjek (pustakawan) tanpa memperhatikan objek yang akan diberikan layanan (pemustaka), maka layanan tersebut cenderung tidak efektif dan efisien sehingga akhirnya dilupakan begitu saja tanpa adanya evaluasi atau bahkan benar-benar hilang.
Fenomena tersebut diatas jelas sudah menyimpang dari UU RI Nomor 43 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan perpustakaan berdasarkan pada asas demokrasi. Pemustaka yang sudah jelas sekali sebagai penerima tunggal dari layanan perpustakaan, namun kebutuhan dan harapannya tidak dijadikan pijakan dalam membangun layanan yang ada.
Idealnya sebuah perpustakaan yang mempunyai misi untuk menyediakan layanan informasi kepada para pemustakanya, dalam membangun layanannya selalu melibatkan pemustaka dalam pemilihan prioritas layanan yang akan dilayankan. Layanan perpustakaan yang bermutu adalah layanan-layanan perpustakaan yang dibangun berdasarkan masukan, evaluasi dan keterlibatan banyak orang: pengguna , staff perpustakaan, dan pimpinan perpustakaan, sehingga terciptalah demokrasi di dalam perpustakaan.

Ramuan penting guna meraih kesuksesan dalam layanan perpustakaan yang bermutu adalah komuikasi dan kolaborasi antar pustakawan dan pemustaka dalam mengembangkan layanan perpustakaan. Berikut ini akan dijabarkan lebih terperinci mengenai ramuan penting dari sebuah layanan perpustakaan yang bermutu:

1.         Partisipasi pengguna atau pemustaka: partisipasi pemustaka akan memperkaya program dan layanan yang ditawarkan perpustakaan. Patisipasi pemustaka di sini berarti keterlibatan pemustaka dalam membuat dan mengevaluasi program dan layanan perpustakaan. Hal ini bukan berarti pemustaka mengambil alih fungsi pustakawan dalam semua penciptaan dan evaluasi dalam perpustakaan, namun setidakanya pemustaka juga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam keputusan dan kebijakan perpustakan.

2.         Perubahan yang konstan dan bertujuan: manfaat dari perubahan yang konstan dan bertujuan ini akan terlihat ketika dibandingkan dengan metode “perencanaan, Implementasi, dan dilupakan”: maksudnya adalah banyak perpustakaan yang memutuskan untuk melakukan layanan jenis baru, mereka merencanakannya, melaksanakannya, kemuadian tiba-tiba hilang dan lupa begitu saja tanpa adanya evaluasi dan pengembangan lebih lanjut.

3.         Merangkul pemustaka yang sudah ada dan meraih pemustaka yang potensial: maksud dari pemustaka yang potensial adalah masyarakat yang belum memanfaatkan jasa layanan perpustakaan, namun mereka memiliki potensi untuk memanfaatkan layanan perpustakaan. Merangkul pemustaka yang sudah ada dapat dilakukan dengan merealisasikan layanan yang dibangun atas dasar komunikasi dan kolaborasi antar pustakawan dan pemustaka serta selalu megevaluasi secara berkala layanan tersebut. Meraih pemustaka yang potensial dilakukan secara proaktif dengan memanfaatkan teknologi internet dan website, dengan membangun website perpustakaan maka masyarakat luas dapat dengan mudah mengenal perpustakaan, dapat juga ditunjang dengan membangun grup di jejaring social facebook misalnya, yang akan mengundang fenomena “getok tular” sehingga perpustakaan akan lebih dikenal oleh masyarakat luas, ehingga termotifasi untuk memanfaatkannya.

Kebutuhan dan harapan pengguna perpustakaan akan senantiasa berubah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, perpustakaan harus berusaha lebih keras lagi untuk mengendalikan perubahan yang terjadi. Sekarang perpustakaan telah berada pada titik di mana jika pepustakaan tidak membuat perubahan yang signifikan dengan membuat dan merawat layanan yang bermutu, maka perpustakaan akan kehilangan relevansinya terhadap kebutuhan dan harapan pengguna perpustakaan, dengan kata lain perpustakaan itu sudah tidak ada gunanya lagi.
Referensi

Casey, Michael E., & Savastinuk, Laura C. (2007). Library 2.0: a Guide to Participatory Library Service. New Jersey: Information Today.

 

Jürgen Habermas-Biography. 3 November 2011. http://www.egs.edu/library/juergen-habermas/biography/.


Lubis, Ahyar Yusuf. (2011). Teori Kritis dan Posmoderisme: Pengaruhnya pada Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar