Kamis, 31 Mei 2012

Merkantilisme Informasi di Perpustakaan Umum


Disusun oleh 
Luh Putu Sri Aryani
M. Rosyihan Hendrawan
Prafita Imadianti
ŽPrisinta Wanastri
‘Yanuar Yoga Prasetyawan
Yona Primadesi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Pendahuluan
Istilah post-modernisme lahir pada paruh kedua abad ke-20, berkisar antara  tahun 1960 hingga tahun 1990. Lahirnya post-modernisme ditandai dengan lahir dan berkembangnya era informasi dalam masyarakat yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam fenomena sosial-budaya masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Akhyar, bahwa salah satu ciri sosial-budaya masyarakat post-modernisme ditandai dengan lahirnya era mode informasi. Era mode informasi ini memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mengorganisir dan menyebarkan informasi seluas-luasnya (Akhyar, 2011). Dinamika perkembangan informasi ini menyebabkan perubahan dalam masyarakat, seperti perubahan estetis, kultural, dan ekonomi. Proses perubahan ini kemudian melahirkan istilah masyarakat informasi atau information society. Konsep masyarakat informasi itu sendiri muncul pada awal tahun 1970.
Daniel Bell menggunakan istilah post-industrial society untuk menyebut masyarakat informasi, yaitu pergantian produksi barang-barang kepada sistem pengetahuan dan inovasi pelayanan sebagai strategi dan sumber informasi masyarakat (Bell, 1973). Menurut William J. Martin, masyarakat informasi merupakan suatu kedaan masyarakat dimana kualitas hidup, prospek untuk perubahan sosial dan pembangunan ekonomi bergantung pada peningkatan informasi dan pemanfaatannya (Martin, 1995).
Masyarakat yang mendapat kesempatan dan akses informasi secara cepat dan tepat akan jauh lebih maju dibandingkan dengan mereka yang kurang mendapat “nasib” baik dalam hal pemerolehan informasi. Menurut Pendit, misi utama masyarakat informasi adalah mewujudkan masyarakat yang sadar tentang pentingnya informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, terciptanya suatu layanan informasi yang terpadu, terkoordinasi dan terdokumentasi serta tersebarnya informasi ke masyarakat secara luas dan cepat, tepat dan bermanfaat (Pendit, 2005).
John Goddard mengidentifikasi empat unsur yang saling berkaitan dalam proses perubahan menuju masyarakat informasi. Pertama, informasi mulai menduduki panggung utama sebagai sumber daya strategis, dimana adanya ketergantungan terhadap informasi. Kedua, teknologi informasi dan komunikasi menyediakan infrastruktur yang memungkinkan informasi diproses dan didstribusikan. Ketiga, terjadinya pertumbuhan yang sangat cepat pada sektor informasi yang bisa diperdagangkan dalam ekonomi. Keempat perubahan dalam aspek budaya yang mudah dikenali tetapi sulit untuk diukur (John Goddard, 1992).
Masyarakat informasi ditandai dengan adanya perilaku informasi yang merupakan keseluruhan perilaku manusia yang berhubungan dengan sumber dan saluran informasi, perilaku penemuan informasi yang merupakan upaya dalam menemukan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu, perilaku mencari informasi yang ditujukan seseorang ketika berinteraksi dengan sistem informasi, dan perilaku penggunaan informasi yaitu perilaku yang dilakukan seseorang ketika menggabungkan informasi yang ditemukannya dengan pengetahuan dasar yang sudah dimiliki sebelumnya.
Informasi merupakan komoditi utama dalam masyarakat informasi. Informasi itu sendiri menurut Harrod’s librarians glossary (dalam Sulistyo-Basuki, 2006) adalah kumpulan data dalam bentuk yang dapat dipahami, terekam pada kertas atau media lainnya dn memilki peranan dalam kegiatan komunikasi (Sulistyo-Basuki, 2006). Informasi merupakan kata benda berupa pengetahuan yang diberikan kepada seseorang dalam bentuk yang dapat dipahami oleh orang lain.
Keberadaan informasi ini tidak bisa dilepaskan dari media penyedia dan penyampai informasi, diantaranya adalah perpustakan. Informasi dan perpustakaan adalah dua hal yang tidak bisa berdiri sendiri karena tujuan hadirnya perpustakaan adalah untuk menyediakan, menyimpan, mengolah dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi melalui koleksi-koleksi yang dimilikinya.
   Perpustakaan dapat diartikan sebagai sebuah ruangan atau gedung yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya, yang dikelola menurut tata susunan tertentu yang digunakan pembaca (Sulistyo-Basuki, 1991). Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 43 tahun 2007, dijelaskan bahwa perpustakaan adalah lembaga pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Dapat dikatakan bahwa kehadiran perpustakaan ditengah-tengah masyarakat adalah untuk mengorganisir dan mengelola informasi sehingga pada saat masyarakat membutuhkan suatu informasi, informasi tersebut akan lebih mudah ditemukan.
Perpustakaan sebagai media penyedia informasi harus mampu menyediakan informasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat penggunanya. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat bersifat heterogen baik dari segi jenis, bentuk dan konteksnya, sehingga perpustakaan pun harus menyesuaikan keberadaannya dengan kebutuhan tersebut.  Ada beberapa jenis perpustakaan, seperti perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan khusus, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan perguruan tinggi. Jenis-jenis perpustakaan tersebut dikelompokkan berdasarkan informasi yang disediakan oleh perpustakaan serta masyarakat pengguna perpustakaan.
Dalam kesempatan kali ini, pembicaraan akan lebih difokuskan pada perpustakaan umum karena perpustakaan umum merupakan salah satu bentuk perpustakaan yang bisa diakses oleh semua masyarakat dari berbagai lapisan dan menyediakan koleksi yang beragam, terutama dalam hal subjek, serta terdapat hampir diseluruh wilayah di dunia secara merata. Perpustakaan umum bisa diartikan sebagai perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial-ekonomi. Idealnya, sebuah perpustakaan umum harus menyediakan informasi, dalam bentuk koleksi perpustakaan, yang bersifat heterogen dan merata kepada pemustaka. Hal ini dikarenakan pemustaka dari perpustakaan umum berasal dari berbagai lapisan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda, sehingga kebutuhan akan informasi pun berbeda-beda. Kebijakan dalam proses pengadaan koleksi di perpustakaan umum harus disesuaikan dengan kebutuhan informarsi pemustaka. Perpustakaan tidak boleh mengkhususkan informasi atau koleksi hanya pada subjek ilmu tertentu saja, seperti koleksi di bidang teknologi, hukum atau ekonomi, dan mengabaikan subjek-subjek ilmu lainnya, seperti filsafat, sejarah, atau koleksi yang bersifat kedaerahan.
Akan tetapi fenomena yang berkembang di masyarakat, justru sebaliknya. Hampir sebagian besar perpustakaan umum, lebih mengutamakan penyediaan koleksi pada subjek-subjek ilmu tertentu yang dianggap laris, seperti teknologi, ilmu ekonomi, ilmu hokum dan kedeoteran, serta mengabaikan subjek-subjek ilmu yang dianggap kurang diminati, seperti ilmu sejarah, filsafat, perpustakaan, atau kesenian. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan perpusakaan sebagai lembaga peyedia informasi seluas-luasnya bagi masyarakat. Oleh karena itu, penulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai kebijakan penyedian informasi, dalam bentuk koleksi, yang dilakukan oleh perpustakaan, serta praktik merkantilisasi informasi yang pada umumnya terjadi di peprustakaan.
1.2.       Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengemukakan fenomena merkantilisasi ilmu pengetahuan dalam proses pengadaan koleksi di perpustakaan umum menurut perspektif post-modernisme.
1.3.       Batasan Penulisan
Penulisan makalah dengan judul, Merkantilisme Informasi di Perpustakaan Umum Dalam Perspektif Post-Modernisme, ini hanya dibatasi pada tataran wacana terhadap praktik merkantilisasi ilmu pengetahuan melalui proses pengadaan koleksi yang dilakukan oleh perpustakaan umum di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Akses Globalisasi Pengetahuan di Perpustakaan Umum
Logika ekonomi yang merupakan inti dari globalisasi meresap ke dalam segenap aspek kehidupan. Kondisi ini menyebabkan pihak lain yang memiliki pemikiran yang berbeda tidak memiliki kebebasan dalam mengajukan pemikirannya. Segala yang bertentangan dengan ideologi neoliberalisme yang menjadi ideologi inti globalisasi dianggap keliru. Kondisi ini seringkali diandaikan dengan sebuah imperialisme gaya baru (Fakih, 2003). Dalam konteks pengembangan pengetahuan, kondisi yang sama juga berlangsung. Pengetahuan yang dianggap bermanfaat adalah pengetahuan yang dapat menghasilkan teknologi yang laku dijual ke pasar. Hal inilah yang mendorong terjadinya merkantilisme pengetahuan, yakni pengetahuan yang dikembangkan sebagai obyek dagang untuk memenuhi kebutuhan pasar (Kleden, 2011).
Gejala merkantilisme pengetahuan ini juga berimplikasi pada adanya gejala peminggiran pengetahuan yang tidak berasal dari Tri Pusat Globalisasi. Pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari luar wilayah-wilayah ini dianggap tidak bermanfaat, inferior, sehingga layak untuk dipinggirkan. Pemahaman ini pada akhirnya bermuara kepada praktik pengembagan pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam lembaga pendidikan, pengetahuan yang diajarkan dititikberatkan kepada pengetahuan yang laku di pasaran tenaga kerja dengan mengabaikan pengetahuan yang dianggap tidak laku.
Kondisi ini kemudian merembet pula kepada perpustakaan. Karena pengembangan ilmu pengetahuan mengacu kepada ilmu-ilmu yang laku di pasaran dan berorientasi pada Tri Pusat Globalisasi maka bahan pustaka yang disediakan di perpustakaan pada akhirnya didominasi oleh kedua jenis pengetahuan ini. Penyediaan koleksi yang hanya berorientasi pada bidang tertentu dalam prakteknya akan mendorong perkembangan bidang tersebut dan mengabaikan perkembangan bidang yang lain. Bidang yang diprioritaskan akan dapat menghasilkan perkembangan keilmuan yang optimal sedangkan bidang yang sebaliknya akan semakin ditinggalkan.
Perpustakaan umum merupakan unit atau satuan kerja, badan atau lembaga yang membidangi pengembangan pengetahuan masyarakat yang berada dalam jangkauannya. Bertugas mengumpulkan, menyimpan, mengatur dan menyajikan bahan pustaka untuk masyarakat umum. Perpustakaan umum diselenggarakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa memandang latar belakang pendidikan, agama, adat istiadat, umur, jenis dan lain sebagainya, untuk itu koleksi perpustakaan umum terdiri dari beraneka ragam bidang dan pokok masalah sesuai dengan kebutuhan informasi dari penggunanya. Dalam Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Umum (2000: 5) dijelaskan bahwa Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan di pemukiman penduduk (kota atau desa) diperuntukkan bagi semua lapisan dan golongan masyarakat penduduk pemukiman tersebut untuk melayani kebutuhannya akan informasi dan bahan bacaan. Definisi lain tentang perpustakaan umum dikemukakan oleh Taslimah Yusuf (1996: 17) bahwa perpustakaan umum adalah perpustakaan yang seluruh atau sebahagian dananya disediakan oleh masyarakat dan penggunaannya tidak terbatas pada kelompok orang tertentu. Beberapa pendapat di atas, mengemukakan bahwa perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah setempat baik kabupaten atau kota, yang berada didaerah pemukiman penduduk, untuk melayani masyarakat dari berbagai golongan tanpa membedakan agama, ras, status sosial ekonomi, usia dan gender.
2.1.1. Pengguna Perpustakaan Umum
Pengguna perpustakaan umum sangat beragam, hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi perpustakaan umum yang melayani masyarakat mulai dari tingkat persiapan sekolah hingga perguruan tinggi, peneliti dan umum. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pedoman Penyelenggaraan  Perpustakaan Umum (2000) bahwa mengingat fungsinya sebagai perpustakaan umum, maka penggunanya terdiri dari berjenis-jenis lapisan masyarakat yang memiliki kebutuhan dan minat yang berbeda terhadap bahan pustaka yang diinginkan. Dengan keberagaman pengguna pada perpustakaan umum, maka dibutuhkan perbandingan yang proporsional antara jumlah koleksi dan ruangan dengan jumlah pengguna dalam memenuhi kebutuhan informasi.
2.1.2. Koleksi perpustakaan Umum
Perpustakaan umum adalah perpustakaan dengan variasi penggunanya yang paling beragam jika  dibandingkan  dengan jenis perpustakaan lain pada umumnya. Hal ini tentunya berimplikasi terhadap cakupan keberagaman koleksi yang dimilikinya. Sutarno (2006: 37) menyatakan  bahwa  perpustakaan umum sering diibaratkan sebagai  universitas rakyat,  karena perpustakaan umum menyediakan semua jenis koleksi bahan pustaka dari berbagai disiplin ilmu, dan penggunaannya oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa koleksi dari perpustakaan umum sangat beragam, artinya dari berbagai jenis (buku maupun non buku), berbagai disiplin ilmu (pengguna yang beragam) dan juga menyediakan koleksi bahan pustaka terbitan lokal.
Sebuah paradigma baru menyimpulkan bahwa, salah satu kriteria penilaian layanan perpustakaan yang bagus adalah dilihat dari kualitas koleksinya. Koleksi yang dimaksud tentu saja mencakup berbagai format bahan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan alternatif para pemakai perpustakaan terhadap media rekam informasi. Setiap kegiatan lain di perpustakaan akan bergantung pada pemilikan koleksi perpustakaan yang bersangkutan (Ade Kohar, 2003). Setiap perpustakaan tentunya mempunyai visi yang berbeda, namun dapat dipastikan bahwa perpustakaan itu dikatakan berhasil bila banyak digunakan oleh komunitasnya. Salah satu aspek penting untuk membuat perpustakaan itu banyak digunakan adalah ketersediaan koleksi yang memenuhi kebutuhan penggunanya. Oleh karena itu tugas utama setiap perpustakaan adalah membangun koleksi yang kuat demi kepentingan pengguna perpustakaan. Pustakawan yang diberi tugas di bidang pengembangan koleksi, harus tahu betul apa tujuan perpustakaan tempat mereka bekerja dan siapa penggunanya, serta apa kebutuhannya. Yulia (1993: 27) menyatakan bahwa ada beberapa pandangan dalam membangun suatu koleksi perpustakaan, yaitu :

1.    Pandangan tradisional
Prinsip ini mengutamakan nilai intrinsik untuk bahan pustaka yang akan di koleksi perpustakaan. Titik tolak yang mendasari prinsip ini ialah pemahaman bahwa perpustakaan merupakan tempat untuk melestarikan warisan budaya dan sarana untuk mencerdaskan masyarakat. Apabila dinilai tidak bermutu, bahan pustaka tidak akan dipilih untuk diadakan.
2.    Pandangan liberal
Prioritas pemilihan didasarkan atas popularitas. Artinya, kualitas tetap diperhatikan, tetapi dengan lebih mengutamakan pemilihan karena disukai dan banyak dibaca atau mengikuti selera masyarakat pengguna.
3.    Pandangan pluralistik
Prinsip yang dianut pandangan ini berusaha mencari keselarasan dan keseimbangan di antara kedua pandangan tersebut, baik tradisional maupun liberal.
Bila evaluasi koleksi ini ingin dilakukan secara objektif, maka diperlukan serangkaian riset untuk mendukung pengambilan keputusan. Diakui bahwa tugas evaluasi koleksi itu sulit, dan sering kali hasilnya itu subjektif. Jadi seorang pelaksana evaluasi koleksi harus bisa menyatakan apa adanya tentang koleksi. Metode evaluasi koleksi yang tersedia tidak ada yang sempurna untuk dapat digunakan secara tunggal. Oleh karena itu disarankan menggunakan kombinasi beberapa metode, sehingga dapat saling menutupi kekurangan masing-masing metode. Langkah-langkah berikut ini disarankan untuk diambil dalam mengevaluasi koleksi, meliputi :
1.    Pengembangan standar nilai dan mutupengembangan koleksi; mengambil contoh secara acak dari koleksi dan memeriksa pemanfaatan  buku itu;
2.    Mengumpulkan data tentang judul-judul  yang diinginkan pengguna;
3.    Mengumpulkan data judul-judul yang dibaca di tempat;
4.    Mengumpulkan data dari aktivitas pinjam antar perpustakaan dan sebagainya.


Melakukan evaluasi koleksi memang menyita banyak waktu, tetapi dari hasil evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan koleksi. Dengan data itu, maka staf pengembangan koleksi dapat memformulasikan kembali perencanaan untuk terus memelihara koleksi yang kuat dan memperbaiki koleksi yang lemah. Semua aktivitas evaluasi ini tentunya harus sejalan dengan fungsi dan tujuan perpustakaan, serta kebutuhan komunitas. Bila evaluasi koleksi ini sudah dilakukan secara rutin, akan terasa semakin ringannya tugas ini, terlebih bila diingat bahwa proses ini akan membawa koleksi perpustakaan semakin dekat dengan kebutuhan komunitas yang dilayani.
2.2.       Merkantilisme Pengetahuan
Merkantilisme (Merchantilism) adalah sebuah kondisi postmodernitas yang digambarkan oleh J. F. Lyotard, yaitu berupa komersialisasi pengetahuan dan informasi dalam era kapitalisme global dewasa ini. Merkantilisme pengetahuan dalam dunia pendidikan telah menggiring dunia pendidikan ke arah beragai bentuk pendangkalan, pemassalan, dan populisme sebagi nilai-nilai komersialisasi. Dalam pendidikan yang termerkantilisasi model-model yang diutamakan adalah dimensi-dimensi pengetahuan yang pragmatis, strategis, ekonomis yang pasti berorientasi keuntungan sebagai akibat dari hegemoni kultural kapitalisme, dan sebaliknya menghambat dimensi-dimensi humanis, sosiologis, atau spiritual dari pengetahuan. Pendidikan kemudian menjelma menjadi alat hegemoni penyanggah kapitalisme. Akibat lebih jauh yang ditimbulkan adalah lahirnya intelektual yang tetap mempertahankan fitur-fitur utama dalam kapitalisme (kepemilikan, eksploitasi, ketiadaan kontrol kelas pekerja atas faktor produksi, demokrasi representatif, penguasaan aset publik oleh segelintir orang dan sentralisasi urusan-urusan publik).
Lebih jauh Lyotard, menjelaskan tentang kondisi pendidikan dan pengetahuan dalam masyarakat postindutri dan kebudayaan postmodernisme. Pengetahuan dalam era tersebut dikemas dalam kemasan komoditi informasi dan kini menjadi alat penting dalam perebutan kekuasaan dalam skala global. Negara bangsa yang dulu berjuang untuk mempertahankan wilayah kini bersaing keras untuk mendapatkan akses informasi bila tetap ingin bertahan hidup. Masalahnya kemudian adalah, beralihnya kekuasaan dari negara bangsa ke perusahaan multinasional. Negara kini hanya berperan membuat regulasi-regulasi untuk mengundang para investor dalam dunia pendidikan. Di tangan perusahaan kapitalisme multinasional yang terjadi adalah pengetahuan dan informasi (dan tentunya) ‘pendidikan’ sebagai komoditi untuk diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme menjadikan pendidikan serta pengetahuan yang tercipta didalamnya sebagai komoditi untuk maraup untuk yang berliimpah. Ketika merkantilisme pengetahuan telah menjadi fondasi dari institusi pendidikan maka berbagai bentuk wacana komersial dan komodifikasi dicangkokkan dalam sistem pendidikan, yang membatasi pertumbuhannya sendiri.
Logika ekonomi yang merupakan inti dari globalisasi meresap ke dalam segenap aspek kehidupan. Kondisi ini menyebabkan pihak lain yang memiliki pemikiran yang berbeda tidak memiliki kebebasan dalam mengajukan pemikirannya. Segala yang bertentangan dengan ideologi neoliberalisme yang menjadi ideologi inti globalisasi dianggap keliru. Kondisi ini seringkali diandaikan dengan sebuah imperialisme gaya baru (Fakih, 2003). Dalam konteks pengembangan pengetahuan, kondisi yang sama juga berlangsung. Pengetahuan yang dianggap bermanfaat adalah pengetahuan yang dapat menghasilkan teknologi yang laku dijual ke pasar. Hal inilah yang mendorong terjadinya merkantilisme pengetahuan, yakni pengetahuan yang dikembangkan sebagai obyek dagang untuk memenuhi kebutuhan pasar (Kleden, 2011).
Gejala merkantilisme pengetahuan ini juga berimplikasi pada adanya gejala peminggiran pengetahuan yang tidak berasal dari Tri Pusat Globalisasi. Pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari luar wilayah-wilayah ini dianggap tidak bermanfaat, inferior, sehingga layak untuk dipinggirkan. Pemahaman ini pada akhirnya bermuara kepada praktik pengembagan pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam lembaga pendidikan, pengetahuan yang diajarkan dititikberatkan kepada pengetahuan yang laku di pasaran tenaga kerja dengan mengabaikan pengetahuan yang dianggap tidak laku. Kondisi ini kemudian merembet pula kepada perpustakaan. Karena pengembangan ilmu pengetahuan mengacu kepada ilmu-ilmu yang laku di pasaran dan berorientasi pada Tri Pusat Globalisasi maka bahan pustaka yang disediakan di perpustakaan pada akhirnya didominasi oleh kedua jenis pengetahuan ini. Penyediaan bahan pustaka yang hanya berorientasi pada bidang tertentu dalam prakteknya akan mendorong perkembangan bidang tersebut dan mengabaikan perkembangan bidang yang lain. Bidang yang diprioritaskan akan dapat menghasilkan perkembangan keilmuan yang optimal sedangkan bidang yang sebaliknya akan semakin ditinggalkan.
2.3.       Pengembangan Perpustakaan Umum Alternatif: Sebuah Respon Kebudayaan
Arus pengetahuan global dari negara-negara pusat ke negara-negara pinggiran seperti Indonesia tidak bisa dibendung. Hal ini tidak semata-mata karena arus globalisasi yang sangat kuat atas dukungan negara-negara kapitalisme global, tetapi juga karena orang Indonesia memaknai kemajuan pengetahuan dalam konteks pengadopsian budaya Barat. Pencitraan ini memberikan dukungan kuat bagi derasnya arus glolabisasi atas masyarakat Indonesaia. Namun, sebagaimana dikemukakan Ritzer (2006), walaupun terjadi arus budaya global dari pusat ke pinggiran, namun bukan berarti orang pinggiran menerima begitu saja, melainkan selalu ada kemungkinan mereka melakukan glokalisasi, yakni mengekspresikan produk lokal secara global (mengglobalkan yang lokal). Kemunculan glokalisasi bertalian dengan adanya kenyataan bahwa “ … Individu-individu dan kelompok-kelompok lokal memiliki kekuasaan besar untuk menyesuaikan diri, memperbaharui, dan melalukan manuver dalam sebuah dunia global. Teori glokalisasi melihat individu-individu dan kelompok-kelompok sebagai agen-agen yang penting dan kreatif (Ritzer, 2006).
Kesadaran untuk senantiasa mengglobalkan sesuatu yang lokal ini hendaknya juga dilakukan dalam penyediaan informasi oleh perpustakaan sebagai sebuah lembaga informasi. Perpustakaan harus menyediakan bahan-bahan pustaka lokal yang dapat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan. Dalam konteks Indonesia hal ini sebenarnya tidaklah terlampau sulit karena Indonesia kaya akan berbagai bahan pustaka lokal yang berasal dari berbagai etnis di Indonesia. Hal ini mengingat Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya dengan kebudayaan yang sangat banyak tersebar di seluruh Indonesia.



BAB III
PENUTUP

3.1.       Simpulan
Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari. Dalam prakteknya, fenomena ini memposisikan negara-negara tertentu sebagai pusat globalisasi sementara negara lainnya menjadi daerah pinggiran. Segala sesuatu yang berasal dari pusat secara sadar atau tidak harus diterima dan mendominasi di daserah-daerah pinggiran. Jika dikaji lebih jauh globalisasi menyelubungi sebuah ideologi neoliberalisme yang mereduksi manusia semata sebagai mahluk ekonomi. Hal ini menjadikan hubungan antar individu semata didasarkan atas pertimbangan untung dan rugi.
Kondisi ini juga terjadi dalam pengembangan informasi/pengetahuan. Informasi dan pengetahuan yang dapat dikembangkan adalah informasi yang dapat dijual dan berasal dari negara-negara yang menjadi pusat globalisasi. Kenyataan ini tentu saja meminggirkan pengetahuan/informasi yang dianggap tidak laku dijual atau berasal dari negara-negara pinggiran. Untuk mengatasi hal ini perpustakaan dapat berperan dengan tidak hanya menyediakan informasi-informasi yang dianggap laku tetapi juga menyediakan informasi-informasi yang sifatnya lokal yang memuat pengetahuan tentang kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, perpustakaan harus mampu mempertahankan nilai-nilai budaya lokal dalam gempuran arus deras teknologi informasi karena perpustakaan juga berperan dalam pelestarian kebudayaan bangsa termasuk kebudayaan lokal atau daerahnya.







Daftar Pustaka

Ade Kohar, 2003. Teknik Penyusunan Kebijakan Pengembangan Koleksi Perpustakaan: Suatu Implementasi Studi Retrospektif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI.

Althusser, Louis. 2004.  Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.

Amal, Ichlasul. 1998. “Perspektif Pembangunan Jangka Panjang Globalisasi, Demokrasi dan Wawasan Nusantara”. Dalam Yaya M. Abdul Aziz ed. Visi Global Antisipasi Indonesia Memasuki Abad Ke-21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fakih, Mansour. 2003. Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insist Press.


Jencks, Charles. 1989. What is Post-Modernisme? (3rd.ed). New York: St Martin's Press.

Kleden, P.B. 2011. “Mempertimbangkan Pluralitas”. Dalam W. Gault. Filsafat Posmodernisme Lyotard. Flores: Ledalero.

Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2003. Setelah Kebenaran dan Kepastian dihancurkan Masih Adakah tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor: Akademia.

Lull, J. 1998. Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pengantar Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Martin, William. J. (2003). Global Infprmation Society. London: Aslib Gower.

Nugroho, Januar. 2005. “Rekayasa Merawat Neoliberalisme: Menggagas Kembali Peran Teknologi untuk Akumulasi Laba”. Wacana, Edisi 19, Tahun VI.

Perpustakaan Nasional RI. 2000. Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Umum. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Perpustakaan Nasional RI. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Ritzer, George. 2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Steger, M. B. 2005. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta: Lafadl Pustaka.

Sulistyo-Basuki, dkk. 2006. Perpustakaan dan Informasi dalam konteks budaya. Jakarta: Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi. FIB-UI.

Sutarno, NS. 2006. Manajemen Perpustakaan Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:             Sagung Seto.

Takwim, Bagus. 2003. Akar-akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra.

Yulia, Yuyu. 1993. Materi Pokok Pengadaan Bahan Pustaka. Jakarta: Universitas             Terbuka.

Yusuf Taslimah. 1996. Manajemen Perpustakaan Umum. Jakarta: Universitas        Terbuka.

1 komentar: